(sumber: telegraph.co.uk)
Tanggal 28 Juni 2013 sebenarnya merupakan hari-hari seperti
sewajarnya hari yang lain. Semua berjalan sebagaimana biasa. Rutinitas kegiatan
berlangsung persis waktu-waktu sebelumnya. Namun, bagi Bapak Supardi, hari itu
pasti bukanlah menjadi hari yang biasa. Hari Jumat itu adalah hari terakhir Pak
Pardi mengabdi di instansi yang selama tiga dasawarsa menjadi tempatnya
mengabdi dan mencurahkan segala perhatian serta energi.
Pak Pardi sampai pula pada tahap paripurna dalam melaksanakan
tugas. Selama puluhan tahun beliau bertugas, semua berjalan baik tanpa gangguan
yang berarti. Itu dibuktikan dengan tibanya masa selesai pengabdian dan
mencapai pangkat tertinggi sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang beliau
miliki. Beliau ini sejak awal saya bekerja selalu menjadi kawan berbincang
terutama tentang sepakbola. Pak Pardi adalah sosok yang cukup pendiam dan
santun, namun gemar bergurau. Sosok yang taat beribadah dan tak segan berbagi
ilmu kepada saya yang masih hijau dalam menjalankan tugas.
Tulisan ini lahir sebenarnya dipicu oleh munculnya sisi
sentimentil Pak Pardi di hari terakhir beliau berkantor. Saat itu, kami dan
kawan-kawan lain sudah berkumpul di serambi masjid untuk melaksanakan Sholat
Jumat. Tiba-tiba Pak Toro menghampiri Pak Pardi dan berbincang sedikit sambil
bercanda. Pak Toro bercanda dengan menyinggung bahwa mulai Senin, Pak Pardi
sudah tidak lagi memakai seragam kantor. Seketika itu saya melihat air muka Pak
Pardi berubah. Mulai muncul selaput bening di mata beliau. Mata Pak Pardi
berkaca-kaca.. :’|
Dari ekspresi Pak Pardi itu bisa dilihat bahwa pensiun bukan
merupakan titik yang mudah untuk dilalui. Pekerjaan yang bertahun-tahun menjadi
kegiatan dan rutinitas akhirnya mau tidak mau harus berhenti. Pekerjaan di
samping menjadi rutinitas dan sumber penghasilan, di sana tersimpan pula harga
diri sebagai manusia, terutama kaum lelaki. Lumrah rasanya siapapun akan berat
“dipaksa” melucuti segala kebanggaan itu.
***
Pensiun dianggap sebagai masa-masa penuh kekosongan yang
membosankan. Wewenang dan kekuasaan yang selama bertahun-tahun menyertai
pangkat dan jabatan akhirnya harus diambil. Tidak sedikit yang mengalami post
power syndrome. Banyak sekali yang setelah pensiun justru terkena stress dan
penyakit lainnya.
Ada kisah menarik terkait mereka yang telah memasuki masa pensiun.
Seorang Lurah di Klaten, pada hari-hari pertama pensiun, masih belum merasa dan
belum percaya bahwa ia telah sepuh dan memang sudah seharusnya pensiun. Pak
Lurah itu di hari pertama pensiun, masih saja mandi di pagi buta, memakai
pakaian kebesaran dinas dan bergegas menuju Kelurahan. Sang istri dengan santun
mengingatkan tentang hal sensitif itu, bahwa tugas Pak Lurah sekarang sudah
rampung dan berganti dengan tugas mengantar istrinya ke pasar tiap harinya.
Satu lagi, kawan Ayah saya, setelah memasuki pensiun, beliau membeli kendaraan
yang sama persis dengan kendaraan dinas semasa masih bertugas. Semata agar
suasana dan materi yang menemani masa tugas masih ada di tiap hari-harinya.. :’)
Post power syndrome atau sindroma
hilangnya kekuasaan yang menyertai selesainya masa bertugas, diidap oleh mereka
yang kurang bisa berdamai dengan keadaan. Mereka tak bisa men-setting pikiran
bahwa pensiun merupakan suatu fase yang sangat wajar dan pasti akan tiba
masanya. Mereka lebih mengedepankan sisi melankolis. Pensiun berarti sudah
tidak lagi mempunyai tempat bekerja dan tidak lagi memakai seragam kebesaran.
Tidak lagi memiliki ruangan dan tidak ada lagi pagi yang diisi dengan bersisir
rapi dan memasukkan kemeja seragam. Semua sudah menjadi masa lalu.
Di samping sosok yang takut dengan datangnya pensiun, ada juga
yang justru menyambut pensiun dengan suka cita. Mereka menganggap bahwa pensiun
adalah gerbang dimana kemerdekaan sebagai manusia sudah benar-benar tiba.
Rutinitas yang sehari-hari membelenggu sudah usai. Yang ada tinggal waktu yang
penuh untuk membina kebahagiaan bersama keluarga. Lubang-lubang waktu yang
selama puluhan tahun tak bisa tertutup, saat pensiunlah waktu yang tepat untuk
menutup dan menebusnya.
Bagi mereka, pensiun justru momen-momen untuk menikmati hasil
jerih payah selama berpuluh tahun waktu perjuangan mengabdi di institusi tempat
berkarya. Pensiun adalah waktu menikmati hidup yang sebenar-benarnya. Waktu
sepenuhnya bisa dicurahkan untuk kepentingan diri pribadi dan keluarga. Ibadah
saat masih bekerja masih banyak kekurangan, di masa pensiunlah saat yang tepat
untuk menyempurnakannya. Tak ada lagi pagi-pagi penuh keburu-buruan demi
mengejar laju waktu di mesin absensi sidik jari. Tak ada lagi telepon dari
pimpinan yang menanyakan perkembangan tugas. Tak ada lagi tagihan-tagihan dari
pihak berwenang yang menuntut agar laporan harus selesai tepat waktu.
Pensiun bagi mereka yang bisa menikmatinya, justru menjadi waktu
yang menggugah semangat. Waktu tersedia demikian banyak untuk bermesraan
bersama Sang Pencipta. Suami, istri dan anak-anak yang dulu hanya mendapat sisa
waktu sekadarnya, saat purna tugas mereka sepenuhnya menjadi pemilik waktu dan
perhatian. Sosialisasi bersama handai taulan dan tetangga sekitar menjadi bebas
dapat dilakukan kapan saja. Belum lagi jika sudah bercucu, hari tua akan
menjadi waktu yang sangat membahagiakan.
***
Semua hal yang terjadi di hidup kita, tak terkecuali pensiun,
sebenarnya tergantung dengan cara penyikapan kita. Pensiun sebenarnya hal
netral, dijadikan hal yang mencekam dan menakutkan atau justru membahagiakan
dan menggairahkan, sepenuhnya tergantung pada diri kita. Pensiun adalah sebuah
keniscayaan. Pada suatu saat pasti akan terjadi. Rumus dunia jelas sekali
tertulis, bahwa yang telah dimulai, pasti akan ada masa selesai berakhirnya.
Begitu pula dengan masa bakti bekerja, akan ada masa purna tugasnya.
Banyak sekali variabel yang menyebabkan timbulnya ketakutan akan
tibanya masa pensiun. Mulai dari hilangnya rutinitas, berkurangnya lingkup
pergaulan, hilangnya wibawa dan kebanggaan yang menempel pada pekerjaan. Ada
juga ketakutan dengan berkurangnya rezeki, ditambah dengan putra-putri yang
belum mapan secara ekonomi. Baiklah, sangat bisa dimengerti kecemasan itu akan
timbul. Manusiawi, sangat manusiawi.
Namun dengan cara penyikapan yang benar, pensiun justru sangat
bisa dijadikan masa rekreasi yang menyenangkan. Contohlah mereka yang memilih
untuk menjadikan pensiun sebagai saat-saat yang membebaskan. Ada orang di
sekitar saya yang justru sangat menantikan masa pensiun. Beliau sudah
merencanakan dan menyusun beraneka kegiatan ketika pensiun tiba. Beliau dengan
berapi-api menyampaikan kepada saya bahwa sudah sangat ingin menyambutnya.
Cara yang sedari sekarang bisa dirintis oleh mereka yang jauh dari
masa pensiun adalah dengan merencanakan dengan sebaik-baiknya apa yang nanti
akan dilakukan ketika masa pensiun tiba. Pensiun identik dengan diam dan jauh
berkurangnya aktivitas sehari-hari. Maka dari itu, siapkanlah segala sesuatu
yang akan dikerjakan ketika nanti pensiun tiba. Dengan adanya stok kegiatan
yang sudah diskenariokan mulai dari sekarang, maka pensiun bukan lagi masa-masa
yang mencekam.
Menurut mereka yang tak lama lagi akan memasuki masa pensiun,
bahwa masa pensiun itu seolah tiba-tiba saja datang. Tanpa terasa masa puluhan
tahun mengabdi tiba-tiba saja usai. Jika terus saja menunda untuk mempersiapkan
masa itu, penyesalan dan ketakutan siap menerjang jika datang masanya.
Sangat sadar bahwa tidak semudah itu untuk memraktikkannya secara
nyata. Apalagi bagi saya yang masih sangat jauh untuk sampai ke masa itu.
Tulisan ini sebenarnya secara pribadi saya tujukan untuk diri saya sendiri.
Tulisan ini saya jadikan monumen dan prasasti bahwa saya di masa awal bekerja
ini pernah membuat tulisan yang bernada seolah saya sudah mengalami dan mampu
melewati pensiun dengan baik. Tinggal nanti di masa pensiun, saya akan
membacanya kembali dan mencoba untuk mengaplikasikan apa yang pernah saya
goreskan.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan selarik kalimat yang disusun
secara apik oleh Ariel. Kalimat tersebut rasanya sangat bisa menyadarkan kita
bahwa segala sesuatu pasti ada muara tempat berhentinya. Ariel dengan sangat
manis menggambarkan sunnatullah kehidupan dunia. Lirik lagu
tersebut berbunyi: “Jiwa yang lama segera pergi, bersiaplah para
pengganti..~”
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar