Rabu, 21 Agustus 2013

Negarawan Digondol Tikus?

(sumber gambar: beforitnews.com)
Tahun depan, suatu negeri nan kaya akan menghelat kenduri demokrasi. Negeri itu akan melaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Riak-riak euforianya sudah mulai terasa di tahun ini. Bahkan tahun ini sudah dikukuhkan sebagai tahun politik.
Politikus sudah mulai kasak-kusuk kesana kemari untuk jalankan promosi diri dan lobi-lobi. Di jalan-jalan sudah mulai terpampang foto-foto sosok entah-siapa-tak-kenal yang tiba-tiba peduli dengan memberi selamat idul fitri. Anggota dewan sudah mulai jalankan kunjungan ke konstituen untuk galang dukungan.
Setiap pemilu hampir tiba, politikus ramai-ramai mencari sokongan agar bisa duduk di jabatan yang konon mewakili rakyat. Yang belum duduk, ingin duduk. Yang sudah duduk, ingin berlama-lama di kursi yang nyaman itu. Lalu berjuang dengan beraneka cara agar langgeng di sana. Perihal masa tugasnya belum selesai, persetan, yang penting periode berikutnya bisa terpilih lagi.
Politikus, khususnya anggota dewan wakil rakyat, telah langganan menjadi bulan-bulanan. Mereka sudah kenyang diposisikan sebagai pesakitan, sering divonis senang lakukan studi banding padahal hanya dalih untuk kya-kya dan piknik hepi-hepi. Sering diprasangkai kerjanya hanya nguap dan sms-an sambil rapat. Hobinya menitip absen saat rapat-rapat penting membahas masalah strategis terkait hajat perut orang banyak. Walau demikian, masih ada sebagian dari mereka yang masih sholeh, anti korupsi dan mati-matian menjaga idealisme. Sebagian. Entah sebagian besar atau kecil. Tak pernah ada penelitian secara statistik yang gamblang mengukurnya.
Gelar politikus sebetulnya mengandung unsur satire. Politikus ialah sosok yang tangkas dan lincah bermain politik. Sedangkan politik itu sendiri adalah seni untuk mendapatkan kekuasaan. Sejujurnya, kekuasaan merupakan istilah yang netral. Namun idiom “kekuasaan” ini sudah mengalami pergeseran makna secara peyoratif. Artinya, “kekuasaan” sudah identik dengan pemanfaatan kekuasaan untuk tujuan yang tidak elok. Begitulah dewasa ini, “politikus” telah menjadi istilah yang merepresentasikan mereka yang gemar bermain dengan perasaan rakyat.
Istilah “politikus” sepertinya cukup akomodatif untuk dijadikan antonim dari apa yang disebut dengan “negarawan”. Negarawan adalah sosok yang isi hati dan pikirannya hanya untuk negara dan negara. Kepentingan pribadi menjadi nomor dua puluh tujuh. Di benak dan hatinya hanya ada keinginan untuk membangun, membenahi dan menata negaranya.
Karena keinginan untuk membangun negara itu mustahil dilakukan jika tidak memiliki power, maka mau tidak mau negarawan terpaksa ikut berbasah-basah terjun dalam pertarungan politik. Semata agar memiliki keperkasaan secara politis. Jadi, kekuasaan hanya media, hanya alat, bukan tujuan utama. Itulah mengapa negarawan berbeda sama sekali, bahkan berkebalikan dengan  politikus.
Negarawan dilandasi niat tulus dan murni mendermakan hidup, kompetensi dan kapabilitasnya untuk negara. Jalan politik ditempuh untuk mengantarkan menuju kekuasaan yang amanah. Kekuasaan bukanlah garis finish yang dituju. Politik hanya cangkul untuk mengolah ladang kekuasaan, agar menghasilkan beras yang penuh barokah untuk negerinya.
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah masih ada sosok negarawan di negeri kaya itu. Ada, pastilah ada. Namun masalahnya, apakah sosok itu direstui oleh invisible hand untuk memegang kekuasaan. Tak pelak, agar seseorang bisa memegang tampuk kekuasaan, perlu tangan-tangan tak kasat mata pemberi restu. Tangan-tangan ini bisa berarti media massa yang gemar memoles, sehingga sosok tertentu seolah menjadi pantas untuk memimpin. Tangan-tangan itu bisa berarti pula afiliasi politik. Tokoh baik dan bersifat negarawan akan menjadi pemain cadangan yang bahkan tidak duduk di bench tepi lapangan, jika ia tak dekat dengan afiliasi politik yang kuat secara teknis dan modal.
Tangan-tangan itu bisa pula tangan Tuhan yang menghendaki seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. Namun kembali kita harus bertanya, apakah Tuhan sudi mengulurkan “tangannya” ke negeri itu. Maka, negeri kaya tersebut harus lakukan kontemplasi dan introspeksi. Apakah negeri itu pantas mendapatkan juluran tangan Tuhan dan memilihkan negarawan untuk memimpinnya. Tuhan adalah dzat suci. Jadi, apakah negeri itu cukup bersih, sehingga Sang Maha Suci dengan senang hati memilihkan secara langsung pemimpin terbaik menurut versiNya.
Konklusinya, haqqul yakin bahwa negarawan sebenarnya masih ada di negeri kaya itu, dan tidak digondol tikus. Namun, diperlukan kondisi tertentu dengan batasan “hanya jika”. Negarawan akan memimpin, hanya jika negeri kaya itu pantas dipimpin oleh pilihanNya..
           
           

           
           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar