"Piye kabare, Le? mPun Maem?" (sumber: pesat news)
Jokowi memang fenomena.
Segala sepak terjangnya tak pernah luput dari perhatian publik dan media.
Segala solah tingkahnya menjadi pemberitaan dan pembicaraan. Jokowi adalah
merek dagang yang sangat tinggi nilai jualnya.
Nama Jokowi melambung
sejak masih menduduki tampuk pimpinan sebagai Solo I. Terutama sejak ia
berhasil memindahkan pedagang kaki lima tanpa bentrok dan kericuhan apapun,
layaknya relokasi PKL di kota-kota lain. Kita pasti paham betul, relokasi PKL
selalu diiringi resistensi dari PKL dengan beragam cara. Mulai dari menghadang
petugas sampai ancaman telanjang dari ibu-ibu. Namun itu sama sekali tak
terjadi di Solo. Jokowi berhasil mengambil hati para PKL, dan mereka dengan
sukarela disertai ekspresi wajah suka cita bersedia pindah ke lokasi yang telah
disediakan secara bersama, dipimpin langsung sang walikota.
Mulai saat itu, Jokowi
menjadi pokok bahasan di mana-mana. Media lokal dan asing, cetak dan
elektronik, berlomba menjadikan Jokowi headline. Tak sedikit pula
lembaga lokal dan internasional mengganjar Jokowi banyak penghargaan. Disusul
dengan munculnya mobil kreasi anak SMK yang kemudian dipakai sebagai mobil
dinas Walikota Solo berplat nomor AD 1. Walhasil, Jokowi makin sering wira-wiri di
televisi. Seketika Jokowi menjadi media darling.
Singkat cerita kemudian
di akhir 2012, Jokowi sukses mengenyahkan Foke dari kursi DKI I. Jokowi
berhasil duduk sebagai Gubernur DKI diiringi dengan tingginya ekspektasi warga
ibu kota kepadanya. DKI tentu memiliki masalah yang demikian pelik dengan scope yang
lebih masif jika dibandingkan dengan Solo. Ibarat, setelah mengurus satu ekor
ayam, kemudian dipaksa mengurus peternakan sapi.
Jokowi mampu mengambil
simpati warga DKI dengan cara yang tidak lazim dan sangat jarang dilakukan oleh
pemimpin mana pun di negeri ini. Pria kelahiran Solo 52 tahun lalu itu, seolah
membawa angin harapan bagi warga DKI yang sangat akrab dengan macet dan banjir.
Berbagai program disusun. Beraneka rencana dibuat. Dengan cara yang berbeda,
semua program Jokowi menjadi istimewa.
Ya, Jokowi seperti
mengerti sekali bagaimana mengelola masalah, baik kecil maupun besar. Ia
membawa paradigma baru dalam kepemimpinan di Indonesia. Entah ia update atau
tidak terhadap perkembangan teori manajemen kepemimpinan internasional, namun
ia dengan sangat cakap mengaplikasikan apa yang dinamakan servant
leadership, kepemimpinan yang melayani.
Jokowi mahir memantik
gairah publik Jakarta untuk bersama membenahi Jakarta dari hal terkecil. Teknik
itu tercakup dalam apa yang disebut dengan blusukan, pendekatan
personal dan komunikasi yang nguwongke uwong (memanusiakan
manusia). Warga Jakarta yang seolah hopeless dan apatis dengan
segala masalah macet dan banjir, ikut bersemangat untuk berpartisipasi dalam
mencari cara yang solutif untuk mengurai masalah turun-temurun itu.
Pemimpin sebelum Jokowi
seperti tidak mendapatkan kepercayaan dari warga DKI untuk bersama
menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tetapi Jokowi berhasil mendapatkan
pemihakan dari warganya sendiri. Ini modal sosial yang luar biasa kekuatannya
jika dapat dioptimalkan. Sekali lagi, itu hasil dari teknik kepemimpinan Jokowi
yang sebetulnya sederhana itu.
Jadi, memang tak ada
yang spesial pada kepemimpinan Jokowi. Semua biasa saja. Namun, di tengah
atmosfer kepemimpinan nasional yang lebih mengedepankan cara-cara birokratis
yang kompleks dan feodalistik, kepemimpinan Jokowi menjadi suatu anomali.
Selama ini, pemimpin atau pejabat identik dengan sosok-sosok untouchable,
angkuh, menjaga jarak dan ingin selalu dilayani. Jokowi membalikkan stereotype pemimpin
di Indonesia itu. Ia memberikan dan mengenalkan opsi baru cara memimpin.
Kepemimpinan Jokowi berhasil menggugah semangat warganya untuk berujar: “Nah
begini ini pemimpin idamanku!”
Ketika Jokowi membawa
suatu kepemimpinan yang sebenarnya sesuatu hal yang biasa, wajar dan memang
seharusnya dilakukan pemimpin, namun karena di waktu sebelumnya mereka selalu
dipimpin oleh sosok yang angkuh dan tidak merakyat, maka warga pun heboh dan
terjadi keterkejutan berjamaah. Warga kaget akan sesuatu hal yang sebenarnya
lumrah dan memang seharusnya dilakukan pemimpin. Jokowi menjadi antitesis dari
pemimpin sebelumnya yang sangat jauh secara fisik maupun hati dari rakyatnya.
Jokowi sangat-sangat dekat dan mudah sekali disentuh. Warga merasa mendapatkan
pengayoman. Warga yang selama ini memposisikan dan melambangkan diri sebagai
anak, seolah mendapatkan representasi sosok ayah pada Jokowi. Pemimpin bergaya
seperti itu dulu hanya utopia, kini menjadi nyata pada diri pria ceking lulusan
Kehutanan UGM tahun 1985 itu.
Sudah disebutkan di
atas, Jokowi telah memiliki modal sosial berupa gairah warga untuk ikut serta
dalam pembangunan ibu kota. Tinggal bagaimana Jokowi me-manage itu
semua menjadi kekuatan besar yang termanfaatkan secara optimal dalam
memperbaiki Jakarta. Jika itu tercapai, minimal Jokowi telah meletakkan batu
pondasi yang kokoh untuk dilanjutkan pemimpin berikutnya.
Jokowi sedang berada di
puncak popularitas. Dan, popularitas itu ditangkap dengan sangat tangkas oleh
partai politik yang berlomba untuk meminangnya menjadi RI 2 atau RI 1. Jokowi
mulai digoda dari kanan kiri. Pertanyaannya adalah apakah Jokowi tergoda
kemudian terlena untuk dicalonkan pada posisi yang lebih tinggi itu. Semoga
saja tidak. Karena kemauan partai untuk meminangnya itu adalah keinginan
pragmatis yang dilandasi niat yang patut dipertanyakan ketulusannya. Jelas
keinginan partai itu ditopang oleh tingginya tingkat keterpilihan
(elektabilitas) Jokowi pada survei-survei politik tempo hari.
Pinangan parpol-parpol
itu menurut saya mengandung banyak mudharat bagi Jakarta dan Jokowi pribadi.
Dengan tidak bermaksud merendahkan kapabilitas dan kompetensi Pak Jokowi, saya
pribadi lebih ingin Pak Jokowi untuk duduk dulu di DKI 1, paling tidak satu
periode lah. Agar ia lebih matang sebagai politikus dan pemimpin,
dan Jakarta pun memang membutuhkan sosoknya. Mudahnya, Jakarta merupakan kawah
candradimuka sebelum beliau lepas landas dan moncer menjadi pemimpin di kancah
nasional. Keberhasilan di Jakarta pada gilirannya akan dijadikan tolok ukur
sahih kepemimpinan Jokowi. Lha sekarang saja setahun saja
belum genap sudah diganggu sana-sini. Kasihan Pak Jokowi..
Jokowi adalah sosok
pemimpin yang bukan berasal dari jenjang karier struktural kedinasan di
pemerintahan. Ia datang dari kalangan pengusaha yang cenderung memiliki
lompatan dan terobosan tersendiri jika dibandingkan dengan pejabat yang
berlatar belakang birokrat, seperti Foke, misalnya. Foke adalah pejabat karier
struktural dan sebelum menduduki jabatan Gubernur DKI, ia adalah Sekretaris
Daerah DKI.
Biasanya, pejabat yang
berasal dari birokrat cenderung bersikap feodal. Karena ia biasa dilayani.
Pejabat struktural PNS biasa diberikan penghormatan, disubya-subya dan
diberikan fasilitas berkelas, maka otomatis ketika ia berada di posisi yang
lebih tinggi pun akan terbiasa dengan berbagai fasilitas, pelayanan dan
penghormatan itu. Akhirnya ia lebih banyak ingin dilayani daripada melayani.
Lambat laun tercipta jarak antara pemimpin dan yang dipimpin. Berbeda dengan
Jokowi yang berasal dari kalangan non-birokrat dan ditunjang dengan bawaan
lahir bahwa ia sosok sederhana, maka sifat dan sikap itu pula yang terbawa
tatkala menjadi pemimpin. Ia ingin melayani daripada dilayani. Ia paham bahwa
kepemimpinan yang relevan dengan zaman ini adalah pamong praja (pemimpin
sebagai pengayom dan pelayan) daripada pangreh praja (pemimpin
sebagai sosok yang dihormati dan dilayani).
Pada tanggal 30 Juni
2013 lalu, diadakan karnaval untuk memperingati hari jadi Kota Jakarta.
Pemimpin sebelumnya, pasti lebih memilih untuk duduk manis sambil terpaksa
senyum-senyum di bawah tenda yang teduh. Manggut-manggut sambil melambaikan
tangan ke arah peserta karnaval. Cara yang konvensional, klise dan membosankan.
Khas pemimpin masa lalu. Jokowi mengobrak-abrik tradisi itu. Ia enggan untuk
duduk pasif dan memilih turun ke jalan sebagai peserta karnaval dengan berbaju
unik sambil mengendarai kuda. Bukan main. Langkah Jokowi itu membuat warga DKI
merasa diberikan contoh dan teladan secara langsung oleh pemimpinnya untuk
langsung turut serta dalam hal positif apapun. Terlihat bahwa Jokowi adalah
tipe pemimpin yang hands on.
Selain cakap dalam
memberikan contoh, Jokowi adalah pemimpin yang konsisten dan konsekuen dengan
apa yang telah diucapkan. Sebelum lebaran, Jokowi mengatakan bahwa setelah
lebaran akan segera diadakan relokasi pedagang kaki lima yang biasa berjualan
di tepi jalan kawasan Tanah Abang ke komplek Blok G. Benar saja tak sampai
hitungan minggu, dua tiga hari setelah lebaran, lapak-lapak PKL sudah
dibersihkan. Lalu, hari Senin 12 Agustus PKL sudah mulai bisa pindah ke lokasi
baru.
Tulisan ini akan ditutup
dengan ungkapan Jokowi saat hari raya Idul Fitri kemarin:
“Karena yang banyak
salah itu pemimpin, jadi yang mestinya ke kampung ya pemimpinnya, bukan
rakyatnya yang ke kita..”
Begitulah Jokowi dengan
gayanya yang bersahaja. Dari kesahajaan itu muncul kepemimpinan yang khas, unik
dan orisinil. Bahkan kemudian banyak pemimpin dan calon pemimpin menjadikan
gaya Jokowi sebagai role model-nya..
|
Asyeeekk.. pak jurnalis dan pengamat!
BalasHapusApa kabar Ryan :)
Wah Debby, kabar baik..
HapusTerima kasih komennnya.. :)
saya share ya ke dinding FB saya
BalasHapusWah Om Dita, silakan saja. Semoga pantas untuk ditampilkan di sana..
HapusMatur nuwun apresiasinya.. ^.^
*finger crossed*
BalasHapusDi satu sisi, aku setuju Jokowi lebih baik jangan jadi Presiden dulu, biar Jakarta beres beneran dan beliau ngga dituduh aji mumpung. Di sisi lain, selagi nunggu masa jabatan Jokowi yang 5 tahun itu berakhir, Indonesia bisa bertahan ngga ya? Di sisi lain lagi, semoga siiih...Presiden yang berikutnya tercerahkan dan niru gaya kepemimpinan Jokowi sehingga walo Jokowi bukan presiden, tapi RI tetap membaik.
Ahok sih pernah bilang di salah satu sesi wawancara (yang kutonton di YouTube karena aku ngga punya TV, dan kenapa pula aku malah curhat di sini yak?) bahwa beliau berdua sudah siap untuk ngga terpilih lagi untuk masa jabatan kedua karena kebijakan-kebijakan serta cara-cara beliau berdua tidak populer. Mereka tau akan banyak pihak yang benci mereka dan berusaha menjatuhkan. Jadi target mereka "cuma" menyelesaikan tugas-tugas mereka di 5 tahun ini. Itu keren banget ya? Berarti kan mereka ngga punya "kepentingan" untuk terpilih lagi.
Anyway, benar bahwa sebenarnya cara Jokowi memimpin itu biasa-biasa aja, sudah seharusnya seorang pemimpin bersikap seperti itu. Yang pemimpin-pemimpin sebelumnya itulah yang sebenarnya luar biasa. Luar biasa ngga tau malunya maksudku.
Sungguh ulasan yg provokatif utk menyebut jokowi ahok adalah suatu yg biasa saja. Sebelum terjerumus terlalu dalam saya sdh siuman untuk jaga-jaga sebelum terlanjur tuntas bacanya, bahwa memang benar sekali ( absolut ) sejoli diatas memang biasa-biasa saja untuk yang biasa Luar Biasa !! (Asem tenann akhirnya aku baca sampe akhir yg komentar juga)
BalasHapusBtw, setuju sekali bhw niat tulus mjdkan Era JokowiAhok pimpin Jakarta harus tuntas sbg role model bagi JakartaBaru yang lainnya di pelosok Indonesia yg saat ini jauh lebih diperlukan dari ego busuknya partai, atau kampanye, atau survey yg mengatasnakan elektibilitas Jokowi digdayan tanpa tanding.
Sekarang yg juga harus dilakukan adalah harus ada keseimbangan ulasan &berita (spt halnya berita biasa LuarBiasa ini) trkait potensi2 luhurnya niat JokowiAhok yg akan habis2an di periode ini trhadap nafsu & intrik yg mengkarbitkan JokowiAhok.
JokowiAhok di JakartaBaru saat ini lebih bisa ubah mindset pamong praja & peran warga secara mendalam bagi daerah lain, bagi Indonesia