Selasa, 13 Agustus 2013

Biasa Saja Ah Kepemimpinan Jokowi!

"Piye kabare, Le? mPun Maem?" (sumber: pesat news)

Jokowi memang fenomena. Segala sepak terjangnya tak pernah luput dari perhatian publik dan media. Segala solah tingkahnya menjadi pemberitaan dan pembicaraan. Jokowi adalah merek dagang yang sangat tinggi nilai jualnya.
Nama Jokowi melambung sejak masih menduduki tampuk pimpinan sebagai Solo I. Terutama sejak ia berhasil memindahkan pedagang kaki lima tanpa bentrok dan kericuhan apapun, layaknya relokasi PKL di kota-kota lain. Kita pasti paham betul, relokasi PKL selalu diiringi resistensi dari PKL dengan beragam cara. Mulai dari menghadang petugas sampai ancaman telanjang dari ibu-ibu. Namun itu sama sekali tak terjadi di Solo. Jokowi berhasil mengambil hati para PKL, dan mereka dengan sukarela disertai ekspresi wajah suka cita bersedia pindah ke lokasi yang telah disediakan secara bersama, dipimpin langsung sang walikota.
Mulai saat itu, Jokowi menjadi pokok bahasan di mana-mana. Media lokal dan asing, cetak dan elektronik, berlomba menjadikan Jokowi headline. Tak sedikit pula lembaga lokal dan internasional mengganjar Jokowi banyak penghargaan. Disusul dengan munculnya mobil kreasi anak SMK yang kemudian dipakai sebagai mobil dinas Walikota Solo berplat nomor AD 1. Walhasil, Jokowi makin sering wira-wiri di televisi. Seketika Jokowi menjadi media darling.
Singkat cerita kemudian di akhir 2012, Jokowi sukses mengenyahkan Foke dari kursi DKI I. Jokowi berhasil duduk sebagai Gubernur DKI diiringi dengan tingginya ekspektasi warga ibu kota kepadanya. DKI tentu memiliki masalah yang demikian pelik dengan scope yang lebih masif jika dibandingkan dengan Solo. Ibarat, setelah mengurus satu ekor ayam, kemudian dipaksa mengurus peternakan sapi.
Jokowi mampu mengambil simpati warga DKI dengan cara yang tidak lazim dan sangat jarang dilakukan oleh pemimpin mana pun di negeri ini. Pria kelahiran Solo 52 tahun lalu itu, seolah membawa angin harapan bagi warga DKI yang sangat akrab dengan macet dan banjir. Berbagai program disusun. Beraneka rencana dibuat. Dengan cara yang berbeda, semua program Jokowi menjadi istimewa.
Ya, Jokowi seperti mengerti sekali bagaimana mengelola masalah, baik kecil maupun besar. Ia membawa paradigma baru dalam kepemimpinan di Indonesia. Entah ia update atau tidak terhadap perkembangan teori manajemen kepemimpinan internasional, namun ia dengan sangat cakap mengaplikasikan apa yang dinamakan servant leadership, kepemimpinan yang melayani.
Jokowi mahir memantik gairah publik Jakarta untuk bersama membenahi Jakarta dari hal terkecil. Teknik itu tercakup dalam apa yang disebut dengan blusukan, pendekatan personal dan komunikasi yang nguwongke uwong (memanusiakan manusia). Warga Jakarta yang seolah hopeless dan apatis dengan segala masalah macet dan banjir, ikut bersemangat untuk berpartisipasi dalam mencari cara yang solutif untuk mengurai masalah turun-temurun itu.
Pemimpin sebelum Jokowi seperti tidak mendapatkan kepercayaan dari warga DKI untuk bersama menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tetapi Jokowi berhasil mendapatkan pemihakan dari warganya sendiri. Ini modal sosial yang luar biasa kekuatannya jika dapat dioptimalkan. Sekali lagi, itu hasil dari teknik kepemimpinan Jokowi yang sebetulnya sederhana itu.
Jadi, memang tak ada yang spesial pada kepemimpinan Jokowi. Semua biasa saja. Namun, di tengah atmosfer kepemimpinan nasional yang lebih mengedepankan cara-cara birokratis yang kompleks dan feodalistik, kepemimpinan Jokowi menjadi suatu anomali. Selama ini, pemimpin atau pejabat identik dengan sosok-sosok untouchable, angkuh, menjaga jarak dan ingin selalu dilayani. Jokowi membalikkan stereotype pemimpin di Indonesia itu. Ia memberikan dan mengenalkan opsi baru cara memimpin. Kepemimpinan Jokowi berhasil menggugah semangat warganya untuk berujar: “Nah begini ini pemimpin idamanku!
Ketika Jokowi membawa suatu kepemimpinan yang sebenarnya sesuatu hal yang biasa, wajar dan memang seharusnya dilakukan pemimpin, namun karena di waktu sebelumnya mereka selalu dipimpin oleh sosok yang angkuh dan tidak merakyat, maka warga pun heboh dan terjadi keterkejutan berjamaah. Warga kaget akan sesuatu hal yang sebenarnya lumrah dan memang seharusnya dilakukan pemimpin. Jokowi menjadi antitesis dari pemimpin sebelumnya yang sangat jauh secara fisik maupun hati dari rakyatnya. Jokowi sangat-sangat dekat dan mudah sekali disentuh. Warga merasa mendapatkan pengayoman. Warga yang selama ini memposisikan dan melambangkan diri sebagai anak, seolah mendapatkan representasi sosok ayah pada Jokowi. Pemimpin bergaya seperti itu dulu hanya utopia, kini menjadi nyata pada diri pria ceking lulusan Kehutanan UGM tahun 1985 itu.
Sudah disebutkan di atas, Jokowi telah memiliki modal sosial berupa gairah warga untuk ikut serta dalam pembangunan ibu kota. Tinggal bagaimana Jokowi me-manage itu semua menjadi kekuatan besar yang termanfaatkan secara optimal dalam memperbaiki Jakarta. Jika itu tercapai, minimal Jokowi telah meletakkan batu pondasi yang kokoh untuk dilanjutkan pemimpin berikutnya. 
Jokowi sedang berada di puncak popularitas. Dan, popularitas itu ditangkap dengan sangat tangkas oleh partai politik yang berlomba untuk meminangnya menjadi RI 2 atau RI 1. Jokowi mulai digoda dari kanan kiri. Pertanyaannya adalah apakah Jokowi tergoda kemudian terlena untuk dicalonkan pada posisi yang lebih tinggi itu. Semoga saja tidak. Karena kemauan partai untuk meminangnya itu adalah keinginan pragmatis yang dilandasi niat yang patut dipertanyakan ketulusannya. Jelas keinginan partai itu ditopang oleh tingginya tingkat keterpilihan (elektabilitas) Jokowi pada survei-survei politik tempo hari.
Pinangan parpol-parpol itu menurut saya mengandung banyak mudharat bagi Jakarta dan Jokowi pribadi. Dengan tidak bermaksud merendahkan kapabilitas dan kompetensi Pak Jokowi, saya pribadi lebih ingin Pak Jokowi untuk duduk dulu di DKI 1, paling tidak satu periode lah. Agar ia lebih matang sebagai politikus dan pemimpin, dan Jakarta pun memang membutuhkan sosoknya. Mudahnya, Jakarta merupakan kawah candradimuka sebelum beliau lepas landas dan moncer menjadi pemimpin di kancah nasional. Keberhasilan di Jakarta pada gilirannya akan dijadikan tolok ukur sahih kepemimpinan Jokowi. Lha sekarang saja setahun saja belum genap sudah diganggu sana-sini. Kasihan Pak Jokowi..
Jokowi adalah sosok pemimpin yang bukan berasal dari jenjang karier struktural kedinasan di pemerintahan. Ia datang dari kalangan pengusaha yang cenderung memiliki lompatan dan terobosan tersendiri jika dibandingkan dengan pejabat yang berlatar belakang birokrat, seperti Foke, misalnya. Foke adalah pejabat karier struktural dan sebelum menduduki jabatan Gubernur DKI, ia adalah Sekretaris Daerah DKI.
Biasanya, pejabat yang berasal dari birokrat cenderung bersikap feodal. Karena ia biasa dilayani. Pejabat struktural PNS biasa diberikan penghormatan, disubya-subya dan diberikan fasilitas berkelas, maka otomatis ketika ia berada di posisi yang lebih tinggi pun akan terbiasa dengan berbagai fasilitas, pelayanan dan penghormatan itu. Akhirnya ia lebih banyak ingin dilayani daripada melayani. Lambat laun tercipta jarak antara pemimpin dan yang dipimpin. Berbeda dengan Jokowi yang berasal dari kalangan non-birokrat dan ditunjang dengan bawaan lahir bahwa ia sosok sederhana, maka sifat dan sikap itu pula yang terbawa tatkala menjadi pemimpin. Ia ingin melayani daripada dilayani. Ia paham bahwa kepemimpinan yang relevan dengan zaman ini adalah pamong praja (pemimpin sebagai pengayom dan pelayan) daripada pangreh praja (pemimpin sebagai sosok yang dihormati dan dilayani).
Pada tanggal 30 Juni 2013 lalu, diadakan karnaval untuk memperingati hari jadi Kota Jakarta. Pemimpin sebelumnya, pasti lebih memilih untuk duduk manis sambil terpaksa senyum-senyum di bawah tenda yang teduh. Manggut-manggut sambil melambaikan tangan ke arah peserta karnaval. Cara yang konvensional, klise dan membosankan. Khas pemimpin masa lalu. Jokowi mengobrak-abrik tradisi itu. Ia enggan untuk duduk pasif dan memilih turun ke jalan sebagai peserta karnaval dengan berbaju unik sambil mengendarai kuda. Bukan main. Langkah Jokowi itu membuat warga DKI merasa diberikan contoh dan teladan secara langsung oleh pemimpinnya untuk langsung turut serta dalam hal positif apapun. Terlihat bahwa Jokowi adalah tipe pemimpin yang hands on.
Selain cakap dalam memberikan contoh, Jokowi adalah pemimpin yang konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah diucapkan. Sebelum lebaran, Jokowi mengatakan bahwa setelah lebaran akan segera diadakan relokasi pedagang kaki lima yang biasa berjualan di tepi jalan kawasan Tanah Abang ke komplek Blok G. Benar saja tak sampai hitungan minggu, dua tiga hari setelah lebaran, lapak-lapak PKL sudah dibersihkan. Lalu, hari Senin 12 Agustus PKL sudah mulai bisa pindah ke lokasi baru.
Tulisan ini akan ditutup dengan ungkapan Jokowi saat hari raya Idul Fitri kemarin:
“Karena yang banyak salah itu pemimpin, jadi yang mestinya ke kampung ya  pemimpinnya, bukan rakyatnya yang ke kita..”
Begitulah Jokowi dengan gayanya yang bersahaja. Dari kesahajaan itu muncul kepemimpinan yang khas, unik dan orisinil. Bahkan kemudian banyak pemimpin dan calon pemimpin menjadikan gaya Jokowi sebagai role model-nya..

6 komentar:

  1. Asyeeekk.. pak jurnalis dan pengamat!
    Apa kabar Ryan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Debby, kabar baik..

      Terima kasih komennnya.. :)

      Hapus
  2. saya share ya ke dinding FB saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Om Dita, silakan saja. Semoga pantas untuk ditampilkan di sana..

      Matur nuwun apresiasinya.. ^.^

      Hapus
  3. *finger crossed*

    Di satu sisi, aku setuju Jokowi lebih baik jangan jadi Presiden dulu, biar Jakarta beres beneran dan beliau ngga dituduh aji mumpung. Di sisi lain, selagi nunggu masa jabatan Jokowi yang 5 tahun itu berakhir, Indonesia bisa bertahan ngga ya? Di sisi lain lagi, semoga siiih...Presiden yang berikutnya tercerahkan dan niru gaya kepemimpinan Jokowi sehingga walo Jokowi bukan presiden, tapi RI tetap membaik.

    Ahok sih pernah bilang di salah satu sesi wawancara (yang kutonton di YouTube karena aku ngga punya TV, dan kenapa pula aku malah curhat di sini yak?) bahwa beliau berdua sudah siap untuk ngga terpilih lagi untuk masa jabatan kedua karena kebijakan-kebijakan serta cara-cara beliau berdua tidak populer. Mereka tau akan banyak pihak yang benci mereka dan berusaha menjatuhkan. Jadi target mereka "cuma" menyelesaikan tugas-tugas mereka di 5 tahun ini. Itu keren banget ya? Berarti kan mereka ngga punya "kepentingan" untuk terpilih lagi.

    Anyway, benar bahwa sebenarnya cara Jokowi memimpin itu biasa-biasa aja, sudah seharusnya seorang pemimpin bersikap seperti itu. Yang pemimpin-pemimpin sebelumnya itulah yang sebenarnya luar biasa. Luar biasa ngga tau malunya maksudku.

    BalasHapus
  4. Sungguh ulasan yg provokatif utk menyebut jokowi ahok adalah suatu yg biasa saja. Sebelum terjerumus terlalu dalam saya sdh siuman untuk jaga-jaga sebelum terlanjur tuntas bacanya, bahwa memang benar sekali ( absolut ) sejoli diatas memang biasa-biasa saja untuk yang biasa Luar Biasa !! (Asem tenann akhirnya aku baca sampe akhir yg komentar juga)
    Btw, setuju sekali bhw niat tulus mjdkan Era JokowiAhok pimpin Jakarta harus tuntas sbg role model bagi JakartaBaru yang lainnya di pelosok Indonesia yg saat ini jauh lebih diperlukan dari ego busuknya partai, atau kampanye, atau survey yg mengatasnakan elektibilitas Jokowi digdayan tanpa tanding.
    Sekarang yg juga harus dilakukan adalah harus ada keseimbangan ulasan &berita (spt halnya berita biasa LuarBiasa ini) trkait potensi2 luhurnya niat JokowiAhok yg akan habis2an di periode ini trhadap nafsu & intrik yg mengkarbitkan JokowiAhok.
    JokowiAhok di JakartaBaru saat ini lebih bisa ubah mindset pamong praja & peran warga secara mendalam bagi daerah lain, bagi Indonesia

    BalasHapus