Rabu, 04 September 2013

Keminderan Indonesia Sudah Kronis!


(source: blog.photoshelter.com)


Orang-orang yang memiliki rasa keindahan yang tinggi di dalam dirinya, menggambarkan Indonesia adalah tanah surga. Indonesia adalah potongan tanah dewata yang dijatuhkan ke dunia. Indonesia diciptakan ketika Tuhan sedang ceria dan tersenyum bahagia.
Imbasnya, Indonesia dikirimi sedemikian besar kenikmatan yang susah dicari tandingannya. Iklim tropis bersuhu hangat dan tidak ekstrim. Keanekaragaman hayati yang luar biasa. Kekayaan bahan tambang dan mineral seolah tanpa batas. Indonesia bak perawan bertubuh molek yang sedang ranum-ranumnya, sehingga memancing untuk segera dicecap segala potensi jiwa raganya.
Namun, dari semua kelebihan dan anugerah yang ditambatkan Tuhan untuk Indonesia, rasa-rasanya ada kelemahan yang sejatinya harus segera dicari formula untuk solusi terbaiknya. Kelemahan ini justru terdapat pada khalifah yang dititipi untuk mengelola tanah surga Indonesia. Ya, manusia Indonesia harus segera berbenah diri.
Tanpa ragu saya mengatakan bahwa sudah sejak lama kita, manusia Indonesia memiliki perasaan inferior atau krisis percaya diri yang kronis. Keminderan ini sudah mencapai titik nadir. Ini menyedihkan.
Hal kecil yang mengindikasikan itu, salah satunya yaitu banyak dari kita yang heran dan kagum terhadap sosok bule yang berkeliaran di tempat-tempat wisata. Kita terpesona melihat manusia asing itu. Beberapa dari kita pasti pernah ngotot untuk sekadar berfoto dengan mereka, untuk kemudian dipamerkan kepada simbah atau pakdhe di desa.
Banyak perusahaan berebut mempekerjakan para ekspatriat. Rata-rata mereka direkrut untuk mengisi posisi strategis di perusahaan-perusahaan bonafide dengan gaji mengikuti mata uang negara asal mereka. Sementara posisi-posisi rendahan selalu diisi oleh manusia bangsa kita sendiri. Kita justru percaya diri untuk merendahkan diri sendiri.
Para wanita baru merasa cantik jika sudah berkulit putih, berhidung mbangir dan rambut kemerahan. Akhirnya, semakin banyak terlihat di jalan, wanita berambut merah/blonde, muka putih, leher dan telapak tangan berwarna gelap. Rasanya mereka lebih pas disebut sebagai anak yang habis main layangan daripada wanita cantik. Mereka lupa dengan kodratnya sebagai wanita Indonesia yang sudah diberi keindahan sesuai definisi Tuhan tentang kecantikan versi Indonesia. Wanita Indonesia malu untuk menjadi wanita Indonesia.
Kita selalu menyebut musik asli khas Indonesia sebagai musik yang kampungan. Sehingga berlombalah kita untuk malu mengaku menggemarinya. Dangdut dengan keindahan dan kerumitan harmonisasi aransemen saja, dicap sebagai musik kaum pinggiran yang miskin. Keroncong dicap sebagai musik khas masa lalu dan hanya untuk digemari kaum tua yang tidak berpendidikan. Musik campursari adalah musik yang hanya untuk dinikmati orang bodoh dan tinggal di pelosok nan kumuh. Pemuda Indonesia merasa keren jika sudah menggemari musik-musik bentukan luar negeri.
Kita bangga dengan hanya disebutkan di salah satu dialog di film Hollywood. Kita bangga dengan hanya masuk ke dalam cerita Tintin sewaktu ia mengadakan tur ke Indonesia. Kita bungah dijadikan tempat shooting film-film Barat. Kita kagum saat tim sepakbola Eropa memakai batik dalam lawatannya ke Indonesia. Kita girang bukan main ketika ada bule bisa memainkan gamelan dengan baik. Bukankah kita seharusnya dengan wajar saja menyikapinya karena kita bangsa besar yang pantas untuk mendapatkan itu semua? Bukankah seharusnya mereka yang bangga? Bukankah sebagai bangsa yang kaya akan budaya kita memang pantas dapatkannya? Jangan kaget dan bangga berlebihan hanya mendapatkan “penghargaan” seperti itu. Ojo kagetan lan ojo gumunan..
Kita dengan senang seolah tanpa dosa, mengakui telah mengadakan MoU dengan bangsa asing untuk serap segala kemanisan sumber daya alam. Kita bangga mengatakan bahwa SDM Indonesia belum mampu mengelola. Kita sudah terbiasa menyatakan teknologi yang kita punya belum mampu menanganinya. Dengan senang hati kita mengemis bantuan tenaga dan teknologi dari negara asing. Celakanya, mereka yang kita mintai tolong itu, juga sekalian mencuri. Kita yang sudah tahu dicuri, justru mempersilakan mereka untuk semakin banyak mencuri.
Kita dikenal sebagai negara dunia ketiga. Judul negara ini adalah negara berkembang, dengan salah satu sumber devisa terbesar dari mengekspor Pembantu Rumah Tangga. Tanpa bermaksud merendahkan profesi pahlawan devisa, kita harus akui bahwa mereka adalah tenaga kerja dengan SDM dan kompetensi yang rendah. Mereka bukan tenaga ahli. Mereka hanya pesuruh yang ditempatkan sebagai pengelola urusan domestik rumah tangga majikannya. Kenapa kita tidak melakukan positioning sebagai negara pengekspor tenaga ahli?
Keminderan-keminderan itu jika dipertahankan akan makin melesakkan kita ke kedalaman jurang kemunduran. Keminderan masalah pola pikir. Adanya di ranah pikiran, perasaan dan alam bawah sadar. Harus dicari awal sebab-musababnya kenapa kita seperti itu. Keminderan ini harus segera diakhiri.
Menurut analisis sederhana saya, keminderan ini salah satunya diawali adanya mindset bahwa bangsa ini adalah bangsa jajahan yang bodoh. Buktinya, Indonesia dijajah sampai 350 tahun. Bayangkan, bangsa macam apa kalau bukan bangsa bodoh tak berdaya yang dijajah sampai 3,5 abad. Bayangkan pula, berapa turunan kakek nenek kita dulu dieksploitasi.
Penjajahan 350 tahun oleh Belanda menjadi semakin erat lekat di benak seluruh bangsa karena dalam pidato-pidatonya, Bung Karno juga pernah menyebutkannya. Di kurikulum pendidikan nasional, hal itu tertulis di buku-buku pelajaran sejarah. Kuat sekali sejarah itu tertulis dimana-mana.
Kita selalu dicekoki bahwa Indonesia berkali-berkali, berulang-ulang dijajah oleh bangsa asing. Mulai dari Portugis, Inggris, Belanda sampai Jepang. Di alam bawah sadar kita, tentu sedikit banyak tertanam, bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang memiliki kasta lebih rendah daripada bangsa yang menjajah. Efeknya, itu terbawa sampai puluhan tahun setelah kita mengetahuinya.
Sebagai bangsa besar dengan kekayaan yang luar biasa, seyogyanya kita harus segera enyahkan rasa minder. Harus segera dilakukan revolusi cara berpikir dari segenap komponen bangsa, bahwa tidak ada alasan untuk merawat cara berpikir yang salah itu. Cara yang perlu ditempuh adalah mengarahkan sejarah bangsa ke jalur yang seharusnya. Bahwa sebenarnya bangsa kita ini tidak pernah dijajah selama 3,5 abad. Sumber yang bisa dirujuk salah satunya adalah buku yang ditulis oleh G.J. Resink berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah.
Perlu diberikan pula pengertian bahwa penjajahan itu tidak berlangsung di semua wilayah Indonesia. Tidak pula mencapai angka 350 tahun. Yang benar adalah Belanda membutuhkan waktu selama itu untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia, dan gagal. Banyak kerajaan yang tidak berhasil ditaklukan kolonial Belanda. Kala itu, bangsa kita tidak menyerah, namun melakukan perlawanan. Bangsa ini tidak tinggal diam menerima penjajahan. Kerajaan-kerajaan kecil melakukan serentetan proyek perlawanan yang dipimpin dan dikoordinir pemimpin-pemimpin lokal. Hanya saja, dengan cara perlawanan kita yang sporadis, akhirnya mayoritas kemenangan berada di pihak penjajah. Ketika itu perlawanan tidak maksimal karena belum ada persatuan dan kesatuan secara nasional.
Titik tekannya adalah, agar segera dilakukan pelurusan, bahwa bangsa ini bukan bangsa yang takluk menyerah diam saja dalam penjajahan. Kita dengan sekuat tenaga tetap melakukan perlawanan secara maksimal. Dengan cara berpikir seperti itu, keminderan bangsa sedikit demi sedikit akan tereduksi.
Penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun telah menjadi mitos sekaligus dogma. Tanpa ada usaha untuk melakukan olah data ulang untuk meninjau kebenarannya. Pemerintah seharusnya melakukan upaya serius untuk menata ulang jati diri bangsa ini. Walau tentu saja tidak mudah untuk membalikkan sesuatu yang telah bertahan sekian dasawarsa. Memang diperlukan usaha yang cukup komprehensif untuk mengubahnya.
Revolusi pemikiran agar terlepas dari rasa minder sebagai bangsa, selain dilakukan oleh pemerintah, seharusnya juga harus didukung oleh media massa. Media massa sebagai corong pemegang informasi, harus turut serta dalam pembangunan karakter bangsa. Peran media massa sangat strategis dalam hal ini.
Media massa dapat melakukannya dengan mengubah sudut pandang pemberitaan, atau dengan berbagai teknik lain yang dirasa cocok dengan konteks zaman ini. Mengubah sudut pandang pemberitaan ini, walau terlihat ngawur, tapi tak masalah jika dilakukan demi perubahan cara berpikir. Misal, ketika ada Metallica adakan show beberapa waktu lalu, ditulis bahwa band pembuka adalah band lokal Seringai, tertulis: “Show Metallica diawali dengan band pembuka Seringai.” Mengapa tidak dibalik saja: “Metallica akan menjadi penutup dalam konser Seringai.” Contoh kecil dan ngawurnya seperti itu. Dengan mengubah sudut pandang pemberitaan, Seringai tidak terkesan hanya sekadar tempelan saja. Seringai justru menjadi inti show itu. Sah-sah saja kan? Tak ada yang salah ‘kan dengan kepercayaan diri seperti itu?
Perusahaan pemilik modal besar harus segera merombak manajemennya. Semua personel direksi harus diisi oleh SDM lokal. Mereka harus digaji tinggi dan diberikan fasilitas yang lux. Para office boy dan cleaning service didatangkan dari negara asing. Skema upah bisa dibicarakan berikutnya. Yang terpenting adalah perubahan kesan, SDM dalam negeri bisa memimpin orang asing.
Pemerintah bersama swasta sebagai sponsor harus makin banyak menghelat show kesenian lokal Indonesia. Kelola secara profesional dengan mempekerjakan para ahli di bidangnya. Ciptakan kebanggaan terhadap produk dalam negeri. Hilangkan stereotype bahwa kesenian lokal tradisional lekat dengan kesan kuno. Kata tradisional, menurut Budayawan Emha Ainun Nadjib, harus segera ditata kembali maknanya, karena membuat masyarakat enggan bersentuhan dengan apapun yang sudah mendapatkan imbuhan kata “tradisional”. Tradisional identik dengan masa lalu. Dengan image seperti itu, maka hal berbau tradisional hanya ada di ruang kenangan yang sesekali saja ditengok. Padahal, ia harus dibiarkan lestari dan berdampingan dengan produk budaya modern.
Intinya, semua produk lokal harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Masyarakat harus berlomba-lomba mengkonsumsi dan mendatangi semua hal yang berbau domestik Indonesia. Dari sana akan muncul kebanggaan. Sedikit demi sedikit, bangsa Indonesia akan mantap, tak malu-malu dan dengan dada yang membusung berteriak: “Aku orang Indonesia!”
Keminderan hanya akan membuat kita bertahan dalam idiom “negara berkembang/negara dunia ketiga” yang penyebutan dan pengkategoriannya sengaja diskenariokan oleh asing. Keminderan membuat kita enggan bersaing dan posisikan diri sebagai pioneer. Keminderan membuat kita melulu ada di bawah dan di belakang. Padahal dengan segala potensi bangsa Indonesia, kita sangat pantas untuk duduk berdampingan dengan bangsa maju, bahkan ada di depan mereka. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau untuk mencap diri sebagai bangsa yang berdaya di muka dunia? Bangsa Indonesia sangat mampu, tinggal maunya saja. Harus ada visi ke sana. Mari kita awali dengan kepercayaan diri sebagai bangsa yang hebat. Ayolah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar