Rabu, 16 Oktober 2013

Wasiat Timnas U-19 Untuk Timnas Senior

(sumber: bo-la.com)
Sabtu, 12 Oktober 2013 menjadi hari yang akan dikenang dalam jangka waktu yang panjang oleh kita semua. Di hari magis itu, penantian lama publik sepakbola Indonesia akhirnya bermuara dengan indah. Timnas under-19 lolos ke Piala Asia di Myanmar 2014 setelah mengalahkan juara 12 kali, Korea Selatan dengan skor 3-2.
Seperti mimpi, Indonesia yang sama sekali tak dijagokan, mampu dengan cantik mencengangkan negeri K-Pop. Evan Dimas cs. secara tak terduga mampu menunjukkan sepakbola yang indah bak permainan F.C. Barcelona. Mereka mengandalkan umpan-umpan pendek seperti layaknya gaya serangan tiki-taka yang diperagakan Messi, Xavi Hernandes dan Andres Iniesta. Lapangan tengah dikuasai dengan modal goyangan dan gocekan Maldini Pali, Evan Dimas dan Ilham Udin Armain. Pemain Korsel dibuat kebingungan. Walhasil, pertahanan mereka sering dibuat kocar-kacir. Dengan hasil di luar dugaan itu, bandar judi dibuat kelimpungan, prediksi pengamat dibalikkan, angka-angka statistik rekam jejak Korsel terpatahkan. Hasil riil di lapangan lebih berbicara dibanding coretan di atas kertas.
Saya ternganga. Tak percaya, anak-anak muda yang sebelumnya entah berasal dari kolong langit sebelah mana itu, tiba-tiba muncul dengan gaya permainan yang sungguh ciamik dan menggetarkan. Kebanggaan muncul di dada.
Tiga hari kemudian, timnas senior bermain melawan China dan hanya mampu bermain imbang 1-1. Tim senior menghadapi China dengan permainan yang terpaksa harus saya katakan buruk. Buruk jika mengacu standar yang telah ditunjukkan oleh Evan Dimas dkk. Timnas senior bermain dengan modal umpan-umpan panjang dan tendangan spekulasi dari luar kotak pinalti. Dengan fisik pemain China yang rata-rata tingginya di atas pemain kita, tentu strategi itu seringkali gagal dan mentok tanpa hasil. Permainan mereka seperti tanpa determinasi dan pola strategi yang tertata apik. Yah, seperti partai-partai yang mereka lakoni sebelumnya. Nyata adanya, sorry to say, timnas senior harus belajar banyak dari timnas under-19.
Timnas senior harus ngangsu kawruh kepada adik-adiknya itu, setidaknya pada dua aspek yang akan saya uraikan di larik-larik selanjutnya. Pertama, timnas senior harus mempelajari sikap mental yang dimiliki oleh personel timnas u-19. Secara jam terbang, tentu saja timnas senior jauh di atas timnas u-19. Namun, senioritas yang di dalamnya terkandung usia dan pengalaman yang lebih banyak, dalam kasus ini justru menjadi kontraproduktif. Pasalnya, semakin tua seseorang, mereka cenderung lebih rasional, dan itu berarti semakin banyak variabel pertimbangan yang ada di ruang pikir.
Jika kita korelasikan dengan konteks ini, maka timnas senior harus coba aplikasikan cara pikir anak muda timnas u-19 yang relatif belum makan banyak asam garam kehidupan. Hingga mereka bisa dengan “gelap mata” hadapi dan terjang semua yang ada di depan. Timnas u-19 lebih tak peduli dan tak mau tahu dengan embel-embel nama besar Korsel. Persetan dengan judul Korsel sebagai juara Piala Asia sebanyak 12 kali. Yang mereka tahu hanya, jalankan instruksi pelatih, main bagus, bertahan, serang dan golkan. Itu saja. Tak ada takut-takutnya. Ketakutan akan menggiring kepada kegagalan. Seperti bayi yang belajar berjalan, terjatuh lalu coba dan coba lagi. Tanpa ambil pusing ada kerikil tajam dan ancaman batu yang berpotensi menyandung di depan sana. Ingat ‘kan semboyan yang diucapkan Bung Karno: “BERI AKU SEPULUH PEMUDA, MAKA AKAN KUGUNCANG DUNIA!”
Aspek kedua yang harus dipelajari timnas senior (beserta pengurusnya) adalah dari aspek pelatih. Indra Sjafri bisa dikatakan bukan nama besar di dunia persepakbolaan nasional. Namanya berada jauh di bawah bayang-bayang Rahmad Darmawan, Benny Dollo dan Jacksen F. Thiago. Ia tiba-tiba saja muncul dengan membawa perubahan. Bukti nyata yang telah ia torehkan adalah membawa timnas u-19 menjuarai piala AFF di Sidoarjo sebulan silam. Semenjak itu, namanya seliweran di media massa.
Belum lama menghela nafas bahagia dengan juaranya timnas u-19 di ajang AFF, tiba-tiba publik dihentak lagi dengan sensasi yang dibawa Indra Sjafri, Garuda Muda lolos ke Piala Asia u-19. Publik semakin dibuat penasaran. Dengan formula dan jampi-jampi macam apa Indra mampu wujudkan hal yang sebelumnya semacam utopia itu. Selidik punya selidik, ternyata Indra punya resep orisinil dalam meracik dan memadu-padankan bakat seluruh anak asuhnya. Jika pelatih timnas kebanyakan memilih dan memanggil pemain hanya dengan dasar pertimbangan pencapaian pemain di tim-tim ngetop dari divisi utama dan publikasi media, pelatih dari Lubuk Nyiur, Sumatra Barat itu punya cara unik. Ia memilih untuk blusukan ke daerah-daerah terpencil untuk mencari pemain terbaik.
Indra tak segan mencari informasi langsung dari masyarakat umum tentang siapa pemain menonjol yang bermain di kompetisi setempat. Bahkan Indra mengaku, pernah berkunjung ke suatu kompetisi antah-berantah, divisi entah berapa, untuk menyaksikan pertandingan yang dimainkan oleh pemain yang direkomendasikan oleh tukang ojek yang mengantarnya. Hasilnya, didapatlah bek Sahrul Kurniawan.
Indra, yang sebelumnya berprofesi sebagai instruktur dan pemandu bakat di PSSI, juga melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang sebelumnya jarang sekali terdengar di kancah sepakbola nasional. Tercatat semisal, ia mendapatkan Zulfiandi Cole dari Bireun, Aceh dan Yabes Roni Malaifani dari Kepulauan Alor. Indra mengaku sudah berkunjung ke 34 daerah di seluruh Indonesia untuk mencari bakat-bakat emas. Mungkin di benak Indra tercetus tekad untuk membuktikan pertanyaan besar: “Masa’ temukan sebelas pesepakbola hebat dari 230 juta penduduk Indonesia tak bisa?”
Sebelum pertandingan melawan Korsel, Indra sempat berkata: “Jangan terlalu dibesar-besarkan soal Korsel. Indonesia lebih besar dari Korsel. Sampaikan kepada Korsel kami akan mengalahkan mereka pada 12 Oktober nanti.
Kemudian setelah mengalahkan Korsel, ia berkata: “Di dunia ini yang tak boleh dilawan cuma orang tua. Di dunia ini, yang boleh ditakuti hanya Tuhan. Jadi boleh dong kami tak takut saat melawan Korsel. Alhamdulillah kami menang.” Dari kutipan ucapan Indra itu, terlihat bahwa sosok ini mempunyai rasa percaya diri yang cukup. Ia tak gentar hadapi tim sekelas Korsel. Ia sosok anti-minder. Ini yang harus dipunyai pelatih lain di Indonesia!
Dengan sikap mental seperti itu, aura positif akan mudah terserap oleh anak asuhnya. Mereka akan tertular prinsip yang dimiliki sang pelatih. Ditambah dengan asupan-asupan spiritual dan character building yang selalu diinputkan Indra, timnas u-19 menjadi tim yang kokoh dan solid. Indra tak hanya memberikan teknis taktik dan strategi permainan, lebih dari itu ia selalu menekankan bahwa seluruh pemain harus selalu mengingat Tuhan, yaitu dengan selalu bersyukur dan berdoa. Output dari itu semua termanifestasikan dalam pilihan selebrasi setelah ceploskan gol, sujud syukur. Model perayaan yang melukiskan kerendahhatian dan jauh dari hal-hal yang melampaui batas. Perayaan yang demikian religius.
Segenap harapan terlanjur tercurah begitu besar kepada Garuda Muda. Semoga tidak menjadi beban, dan justru menjadi pelecut agar semakin menjadi tim yang prestatif. Ini baru awal dan tonggak untuk terus tumbuh ke atas. Jangan sampai tim ini layu sebelum berkembang. Sebisa mungkin, tim muda ini dijauhkan dari tangan-tangan kotor yang berkeliaran di industri sepakbola Indonesia.
Khuzuson untuk timnas senior, jangan sampai enggan untuk memetik ilmu dan pelajaran dari yang lebih muda. Semoga prestasi adik-adik ini menjadi stimulant agar menjadi tim yang dapat diandalkan di muka dunia. Jayalah sepakbola Indonesia!!!



1 komentar:

  1. tulisan yang bagus mas (y)

    tapi imho, kurang etis juga membandingkan timnas u19 dengan timnas senior.

    timnas u19 cikal bakalnya adalah timnas u17 yg berintikan pemain-pemain seperti ravi, faturohman, i putu gede, hargianto, zulfiandi, evan dimas dan muchlis. mereka menjadi backbone. tim ini berlanjut ke u18 dan u19, dengan penambahan pemain sesuai kebutuhan coach indra dan mengikuti berbagai turnamen. mereka telah bermain bersama +- 3th. implikasinya jelas, mereka telah paham satu sama lain, chemistry sudah terjalin dan kolektivitas meningkat. tinggal mengasah skill dan taktik.

    beda halnya dg timnas senior. pelatih sering gonta-ganti. pemain baru dikumpulkan hanya saat menjelang satu pertandingan/satu event. meningkatkan kolektivitas dan kualitas tim hanya dalam waktu beberapa hari saja? ya sulit mas :D tapi jika timnas ini dibentuk dalam waktu +- 3th dan diikutkan ke berbagai turnamen (paling tidak ke kompetisi ISL), imho saya yakin timnas senior dapat melebihi prestasi u19.

    contoh paling real ya tim persipura. dalam lima musim terakhir, timnya tidak banyak perombakan. hanya menambah pemain berkualitas di posisi tertentu. hasilnya? jelas mereka merajai ISL. sudah berapa gelar? hitung saja sendiri :D siapa pelatih persipura? JFT! pelatih timnas saat ini. anda bisa bayangkan jika JFT membentuk timnas dalam kurun +- 3th dan sering mengikuti kompetisi/turnamen?

    apple to apple lah ya :D

    BalasHapus