Rabu, 21 Desember 2016

Oase Itu Bernama Om Telolet Om


“Om Telolet Om” dalam dua hari ini menjelma menjadi frase yang demikian jamak diungkapkan netizen. Jangkauannya tidak hanya di lingkup geografis Indonesia, namun netizen bahkan selebritas dunia ikut-ikutan demam “Om Telolet Om” (OTO). Kolom komentar Instagram, reply, dan quote tweet dipenuhi OTO. Video-video yang tersebar juga tak mau kalah menampilkan. Seketika, OTO menjadi fenomena dan komoditas pemberitaan dimana-mana.
Yang saya herankan, entah mengapa OTO baru ramai dibahas hari-hari ini. Padahal, portal-portal berita sudah pernah mengangkatnya sekian bulan lalu. Pertengahan September, saat saya menempuh perjalanan menggunakan bus, anak-anak pun sudah meneriakkan OTO ke bus yang saya tumpangi.
***
Konon, fenomena OTO diawali dari daerah Jepara, dimana anak-anak usia SD berdiri di tepi jalan meneriaki bus besar yang lewat agar membunyikan klakson. Sekumpulan anak itu terobsesi pada bunyinya. Mereka juga merekamnya ke handphone, lalu digunakan sebagai ringtone atau diarsipkan untuk dipamerkan kepada teman-teman.
Sejauh yang saya tahu, anak-anak berkumpul di tepi jalan, lalu berteriak demi mendapatkan sesuatu yang tak berwujud hanya benar-benar terjadi di Indonesia. Fenomena OTO ini rasa-rasanya peristiwa autentik dan orisinal yang belum pernah terjadi dimana pun selain di tanah air. Absurd memang, tapi tak ada yang salah dan sungguh menyenangkan mengamatinya. Unik, unik sekali.
***
Tiga atau empat bulan ke belakang, Indonesia disibukkan dengan kabar penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Pemberitaan, media sosial, dan obrolan warung kopi membahasnya. Semua orang memberikan perhatian pada kasus sensitif tersebut.
Di sisi lain, gontok-gontokan para buzzer dan simpatisan calon gubernur DKI setiap hari meriuhkan timeline Twitter. Kemarin, kabar pembunuhan dubes Rusia di Turki menjadi pembahasan dunia. Kasus terorisme yang mengancam keamanan nasional masih terus ada. Kesedihan mendalam datang dari perang Suriah dan kasus Rohingnya yang tak kunjung usai.
Tiap hari kita disuguhi hard news yang berpotensi menimbulkan emosi negatif. Apabila terus-menerus terpapar dan disuguhi kabar-kabar berat, maka batin akan lelah, gampang marah, dan timbul efek-efek tak baik lainnya. Sewajarnya, manusia normal tetap harus mendapat penyeimbang melalui hal-hal yang bernuansa rekreatif.
Tiba-tiba, oase muncul dari hal yang tak disangka-sangka. Pelepas penat datang dari kejadian yang belum pernah terlintas di pikiran. OTO mampu menjadi penyegar di tengah berita-berita yang menyesakkan dada. OTO mampu menyairkan ketegangan. Konten berbagai platform media sosial yang biasanya berisi kebencian, berita palsu, dan hasutan seketika penuh canda tawa dan keceriaan.
***
Sebelum OTO ramai, klakson bus adalah bunyi yang memekakkan telinga dan tak jarang membuat pengendara lain terkaget-kaget karena tingkat decibel yang tinggi. Bahkan sang sopir sering disumpahserapahi karena rentetan bunyi yang seolah mengintimidasi.
Sekarang, klakson bus tak lagi sama. Melalui OTO, klakson bus sekejap berubah menjadi berstatus most wanted. Anak-anak, polisi, gadis, dan pemuda tak malu berdiri di tepi jalan sambil membawa handphone dan kertas bertuliskan OTO. Jika keinginan mereka dilunaskan, maka akan tampak ekspresi kegembiraan yang meluap-luap. Jingkrak-jingkrak, tawa bahagia, dan jogedan tertampil setelah telolet dibunyikan. Membuat siapapun yang menyaksikannya ikut tersengat frekuensi kebahagiaan.
Dalam konteks keadaan Indonesia yang sedang dilanda berbagai problematika, OTO muncul sebagai media pelepasan. Akumulasi kabar menegangkan sedikit demi sedikit diluruhkan oleh keceriaan akibat OTO. Jika kita tarik ke belakang, ke asal muasal OTO, maka penghargaan dan kekaguman setinggi-tingginya patut kita haturkan kepada adik-adik yang dengan kepolosan dan kemurniannya masih mampu jernih dalam memproduksi kebahagiaan. Bagi kita, kaum dewasa, kebahagiaan identik dengan sesuatu yang berkelindan dengan kerumitan dan biaya berjuta-juta.  
OTO bukanlah sesuatu yang berwujud bendawi. Lagipula tak dibutuhkan ongkos yang mahal untuk mengaksesnya. Fenomena OTO mampu memotret keindonesiaan yang sejati. OTO adalah cerminan kesederhanaan yang mampu dijadikan pelatuk tawa ceria penuh euforia.
OTO dapat dijadikan sebagai momentum bagi kita semua agar tetap mampu lahirkan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang sederhana. Berbagai permasalahan hidup dan persoalan bangsa harus tetap mendapat porsi untuk dipikirkan, tetapi tentu dengan tataran yang sewajarnya dan tak merenggut semua apa yang ada di diri kita.



4 komentar:

  1. AKu baru tahu soal "Om telolet om" beberapa hari lalu pas lagi ngobrol di wasap. Tapi pas itu gak ngeh OTO itu apaan. Trus ada temen lagi yang nyeletuk "Om telolet Om", pas nanya eh disuruh gugling. Trus isenglah ngintip di yutub dan baru ngeh OTO yang dimaksud itu kayak apa.

    Duh! Aku kudet banget ya

    BalasHapus
  2. "Yang saya herankan, entah mengapa OTO baru ramai dibahas hari-hari ini."

    Mungkin karena spamming ke seleb dunia terutama para DJ seperti DJ Snake, Marshmello, Francis Dillon dll, yang diterima dengan baik oleh para DJ dan jadi booming deh!

    Salam kenal, senang bisa mendarat di sini :)

    BalasHapus