Senin, 28 Agustus 2017

Keistimewaan Yogya dalam Bingkai Indonesia

Pantai Sadeng (foto koleksi pribadi)

Saat membicarakan Indonesia, maka saat itu pula tidak akan bisa dilepaskan dari bahasan tentang Yogyakarta. Selain karena memang Yogyakarta merupakan bagian integral dari Indonesia, secara historis, Yogyakarta sejak awal masa kemerdekaan selalu menyertai dan mengiringi perjuangan berdirinya Indonesia.
Yogyakarta yang saat itu dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat dalam tinta emas perjalanan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua bermula saat Sultan mengirim ucapan selamat melalui telegram kepada Ir. Soekarno tak lama usai Republik Indonesia (RI) terbebas dari belenggu penjajahan. Isi telegram tersebut sejatinya bukanlah sekadar ucapan selamat belaka, namun bukti permulaan kebesaran jiwa Sultan yang ingin menyatukan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam RI. Tidak hanya selesai dengan ucapan selamat, Ngarsa Dalem Kaping IX melanjutkan komitmen peleburan Yogyakarta ke dalam RI dengan mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945.
Perjuangan meraih kemerdekaan nyatanya harus diteruskan dengan perjuangan untuk mempertahankan, karena penjajah tidak mau melepaskan RI begitu mudahnya. Hal tersebut terbukti saat Belanda menduduki Jakarta pada tahun 1946. Secara otomatis, Jakarta lumpuh dan mendesak untuk dilakukan pemindahan ibu kota. Sultan mendengar dan sigap menawarkan agar ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Maka, mulai tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan 27 Desember 1949, ibu kota RI berpindah ke Yogyakarta.
Sewajarnya negara yang baru lahir dan terjadinya berbagai dinamika pasca proklamasi, RI saat itu mengalami kesulitan keuangan untuk menjalankan operasional pemerintahan. Mengetahui hal itu, Sultan tidak tinggal diam. Selain telah menyediakan Yogyakarta sebagai ibu kota RI, beliau dengan sangat murah hati memberikan kekayaannya sebesar enam juta gulden kepada pemerintah RI untuk membiayai jalannya roda pemerintahan. Kemudian, Sultan ikut berperan secara aktif dalam pertempuran terakhir untuk mengusir Belanda. Dalam pertempuran itu, Sultan berkoordinasi dengan Letkol Soeharto. Pertempuran fenomenal itu di kemudian hari dikenal secara luas dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sungguh banyak jasa-jasa Sultan dalam perjuangan awal lahirnya RI. Apabila kita sebutkan satu per satu, niscaya akan dibutuhkan tempat dan waktu yang tidak sedikit untuk menuliskannya.

***
Embung Nglanggeran (foto koleksi pribadi)

Di era modern, Yogyakarta menjelma menjadi kota yang menyimpan banyak daya tarik. Yogyakarta yang mendapatkan sebutan Daerah Istimewa sejak ditetapkannya UU No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini dikenal dengan beragam julukan yang sulit ditemukan pada kota lain. Sebut saja kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, kota batik, dan kota pendidikan. Tidak heran dengan penyematan julukan-julukan tersebut, karena memang Yogyakarta merupakan kota yang komplit dan sukar dicari tandingannya.
Yogyakarta memiliki landscape yang unik dan obyek wisata yang variatif. Dimulai dari utara, kita dapat menghirup kesejukan Gunung Merapi. Melompat ke timur, kita akan disuguhi wisata cagar budaya berupa Candi Prambanan dan Ratu Boko beserta candi-candi kecil lain yang mengelilinginya. Jauh ke ujung barat, akan tiba di Kulon Progo dengan Waduk Sermo, Kalibiru, Air Terjun Kedung Pedhut, dan Kebun Teh Nglinggo.
Jika ingin berpanas-panas sekaligus bermain kecipak air, barisan pantai tersedia mulai dari Gunung Kidul, Bantul, sampai Kulon Progo. Kalau ingin mengenang masa pra-sejarah, kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran beserta embungnya juga ada. Apabila ingin berbelanja, Malioboro dan Kotagede siap menyambut. Keraton Yogya yang masih lestari, tersaji pula untuk dinapaktilasi.
Karena dikenal sebagai kota pendidikan, maka beragam universitas dengan beraneka jurusan dan spesialisasi, tersedia untuk didalami. Di Yogya, dapat dijumpai restoran mewah kelas satu sampai dengan angkringan sederhana dan warung tenda dengan harga yang ramah. Mudah ditemui pula menu masakan Eropa, China, Arab, dan Amerika, tetapi lupis, gethuk, mie lethek, gathot, dan thiwul tetap mendapat tempat dimana-mana. Bagi wisatawan yang ingin berlama-lama, hotel bintang lima dengan President Suite sampai penginapan untuk backpacker, siap dipesan untuk bermalam. Yogya sangat welcome kepada siapapun, dari kalangan manapun.
Jika harus menunjuk kota yang paling mencerminkan Indonesia, maka Yogyakarta-lah tempatnya. Yogyakarta merupakan Indonesia dalam lingkup geografis yang lebih mungil. Di Yogya, warga yang plural hidup berdampingan tanpa masalah. Walau berbeda agama, bahasa, latar belakang suku budaya, bahkan negara, warga dapat hidup dengan guyub rukun, damai, dan sentosa. Warga yang mendiami Yogyakarta dikenal sangat dewasa dalam menyikapi perbedaan. Segala perbedaan lebur dalam keindonesiaan, maka Yogyakarta aman-aman saja dan relatif tidak tersentuh konflik yang meresahkan.
Yogyakarta adalah kota yang matang dan dewasa, yang apabila dirunut, kematangan dan kedewasaan tersebut berhubungan langsung dengan falsafah hidup yang diletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sejak awal berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, beliau telah menetapkan suatu sistem nilai yang harus dianut oleh segenap unsur elemen keraton. Sistem nilai tersebut adalah Watak Ksatriya yang termanifestasikan melalui konsep sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.
Sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh apabila diterjemahkan secara mudah berarti suatu sikap yang mensintesiskan unsur-unsur yang terdiri dari konsentrasi yang baik, semangat yang tinggi, kepercayaan diri yang dilandasi jiwa rendah hati, dan selalu bertanggung jawab dalam melaksanakan apapun. Watak Ksatriya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan tertampil nyata dalam panggung kehidupan keseharian Yogyakarta.

***
Merapi dari Tebing Breksi (foto koleksi pribadi)

Yogyakarta memiliki warisan budaya yang sangat majemuk dan mempesona, baik budaya intangible maupun tangible. Seluruh pendahulu telah nguri-uri dan menjaganya. Saat ini giliran kita untuk melestarikan dan dikembangkan untuk segenap komponen Yogya, agar Yogya selalu istimewa dan awet keasliannya.
Jangan dilupakan pula, sejak awal mula Yogyakarta telah setia dan seiring sejalan mendampingi lahirnya Indonesia. Melalui kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Yogyakarta menyediakan diri menjadi sejawat dan keluarga terdekat. Indonesia membutuhkan Yogya, Yogya membutuhkan Indonesia.
Saat ini, Keistimewaan Yogyakarta juga telah terlegitimasi melalui UU No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Undang-undang tersebut mengatur 5 (lima) aspek keistimewaan DIY yang terdiri dari mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan, dan tata ruang. Undang-undang tersebut menjadi bukti yuridis formal bahwa Yogyakarta memang istimewa, dan diupayakan sedapat mungkin agar keistimewaan menjadi aspek nilai produktif demi terciptanya masyarakat DIY yang aman dan sejahtera untuk Indonesia.
Yogyakarta dan Indonesia adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tatkala di Yogya, kita akan melihat, mendengar, dan merasa Indonesia. Maka, menjadi Jogja, menjadi Indonesia.



P.S.
Referensi peran Sri Sultan Hamengku Buwono dalam lahirnya RI: 
Alwi, Akhmad. 2010. “Peranan Hamengku Buwono IX Dalam Perjuangan Awal Kemerdekaan Republik Indonesia.” (online), (http://digilib.uin-suka.ac.id/3287/,  diakses tanggal 27 Agustus 2017.




1 komentar:

  1. Semoga kenyamanan Jogja tidak hilang tergerus kuasa modal. Melihat mal-mal baru bermunculan. Hotel-hotel menjamur. Harga tanah membumbung. Masihkah ada ruang untuk kawula alit Jogja?

    BalasHapus