Sabtu, 06 Januari 2018

Suatu Malam Bersama Empat Bos



(sumber gambar digitalbrandinginstitute.com)

Saya punya teman bernama Kasemiro yang berprofesi sebagai pengusaha. Sekitar Mei 2017, tiba-tiba ia menghampiri dan mengeluh perihal Waldi, rekanannya yang ingkar janji. Begini alurnya..
Kasemiro jengkel bukan buatan. Waldi berjanji membayar utang namun saat jatuh tempo justru menghilang. Ditelepon tidak diangkat, di-WA cuma dibaca tanpa balasan. Dan itu terjadi berkali-kali, berbulan-bulan lamanya.
Saking jengkelnya, Kasemiro menyusun strategi untuk melakukan penagihan dengan sedikit ekstrim. Ringkasnya, eksekusi mendatangkan hasil, walau hanya setengah utang yang dibayar. Lumayan daripada blas, begitu kata Kasemiro.
Seingat saya, sejak bertahun lamanya menekuni usaha, baru sekali ini Kasemiro jengkel sampai gethem-gethem. Ia bercerita, Waldi dan istri saat bertemu selalu berpenampilan sopan. Tutur kata halus tertata, pun tingkahnya mundhuk-mundhuk. Tapi saat utang harus dibayar, mereka tega menjelma dua tokoh antagonis yang memancing emosi.
***
Berbulan setelahnya, pada suatu malam saya berkesempatan berbincang dengan Muslih, seorang peternak ribuan ayam, pemilik berhektar-hektar kebun sawit, dan baru-baru ini melebarkan sayap ke bidang property. Secara penampilan, Muslih tidak nampak sebagai pengusaha dengan aset bermilyar-milyar. Ia seorang sederhana dalam arti sebenarnya.
Kemana-mana Muslih bersepeda motor bebek, yang dari penampakannya jelas jarang dicium buih sabun. Mobil hanya satu, itu pun dari segmen low MPV yang dimiliki jutaan orang lainnya. Rumahnya biasa saja. Tidak terletak di cluster mewah, tapi di sudut kampung.
Muslih bertutur, beragam usaha yang dimilikinya diawali dari usaha bengkel motor. Ia memang mempunyai keterampilan montir motor. Tapi karena suatu hal, bengkel harus ia suntik mati. Bergeserlah ia ke peternakan.
Peternakan ayam tidak berawal dari modal besar. Muslih memulai dari puluhan ekor saja. Sampai kemudian ayam-ayam itu saling cinta, memutuskan berkeluarga, dan beranak-pinak mencapai ribuan ekor karena tidak ikut KB. Yang patut diingat, gerombolan ayam itu tidak sekadar berkeluarga, namun ikut pula memakmurkan Muslih.
Saat asyik-asyiknya beternak, seorang teman menghampiri dan menawarkan bisnis yang saat itu masih sangat jarang ditekuni orang. Ditambah, usaha itu benar-benar baru bagi Muslih. Ia bimbang. Lalu entah ilham apa yang mendatangi, dengan sedikit nekat ia memutuskan join dengan usaha yang ditawarkan temannya. Mulai saat itu, Muslih terjun dalam usaha perkebunan sawit.
Usaha kebun sawit cukup lama dirintis. Untuk diketahui, Muslih harus lillahi ta’ala dalam menjalankannya. Karena ia hanya bisa memantau secara rutin melalui telepon. Muslih di Yogya, usaha kebun sawit dipercayakan kepada teman yang bermukim di Sumatra. Usaha kebun sawit Muslih jalankan murni berlandaskan asas kepercayaan.
Untung saja, sepanjang perjalanan merintis kebun, teman yang dipercaya sangatlah amanah. Catatan sejak awal mula dulu sampai tahun sekarang, tertulis rapi dalam lembaran laporan-laporan yang akuntabel. Empat-lima tahun lalu, Muslih mulai mengecap kesuksesan kebunnya. Tiap bulan ia menerima transfer dengan jumlah yang cukup untuk menebalkan rasa percaya diri.
Dari hasil kebun sawitnya, Muslih sudah berhaji dengan sang istri. Pun, ia sisihkan hasilnya untuk terjun ke bidang property. Saat ini ia sudah memiliki beberapa ruko yang ia sewakan. Uang bukan lagi masalah untuknya. Setidaknya begitulah yang dapat terlihat dan terkalkulasi.
Saat saya singgung bahwa hidupnya tinggal menikmati dan bepergian berfoto-foto like there’s no tomorrow, Muslih mensyukuri sambil sedikit membantah. Ia berkata, apa yang terlihat tidak selalu demikian pula yang ia rasa. Ia berkata, saat rejeki datang seperti digerojokkan, di sisi lain selalu saja ada kebutuhan yang harus dicukupi. Bahasa mudahnya, yang masuk banyak, yang keluar juga.
***
Di malam yang sama, saya bertemu dengan pengusaha muda, sebut saja Heri. Ia menekuni usaha persewaan kamera DSLR. Sebuah usaha yang akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan.
Tiap bertemu pengusaha, selalu saya tanyakan bagaimana awal mula mereka berusaha dan mengapa memilih usaha itu untuk ditekuni. Kepada Heri, saya juga bertanya demikian. Saya penasaran, karena walau sudah banyak yang terjun ke sana, bagi saya menyewakan kamera tetap saja jenis usaha yang unik. Heri bercerita, awal ia usaha sebenarnya bukanlah menyewakan kamera tapi modem internet. Saya pun ternganga. Dari mana pula tercetus ide menyewakan modem.
Saya telisik terus. Rupanya, di tahun 2009 persewaan modem adalah hal biasa di kalangan mahasiswa. Tolong maklumi keheranan saya, di tahun itu saya tidak pernah menyewa modem, karena sudah dibeliin sama papah.. #horangkayah
Usaha persewaan modem Heri didasari keinginan membantu orang tua. Saat itu, ia mengalami kecelakaan yang menghabiskan banyak biaya. Ia tak sampai hati melihat orang tuanya susah payah membiayai kuliah sambil mengusahakan kesembuhannya. Berinisiatiflah ia menyewakan satu-satunya modem yang ia miliki, dan ternyata sangat laris. Modem tidak pernah pulang, ia terus digilir pelanggan.
Di saat usahanya lancar berjalan, datanglah seseorang yang menanyakan, selain menyewakan modem, apakah ia juga menyewakan kamera DSLR. Dari situlah awal bisnis persewaan kameranya. Sekarang, Heri sudah memiliki lima orang karyawan dengan jumlah kamera yang tidak terhitung.
***
Saat sedang berbincang panjang lebar dengan Heri, datanglah seorang pengusaha yang sebelumnya tidak saya kenal. Ia mengaku bernama Darno. Langsung saja saya hampiri dan saya tanya-tanyai. Sesuai SOP yang saya anut di atas, saya tanyai mengapa menekuni usaha itu dan bagaimana awalnya.
Darno bercerita, sebenarnya ia dulu seorang karyawan. Lalu setelah bekerja sekian tahun, ia merasakan bukan di situlah passion-nya. Ia keluar dan membuka usaha yang sekarang ia tekuni. Dengan modal keberanian, ia mulai usahanya tanpa banyak berpikir. Yang penting dijalani sambil terus menjaga spirit. Ia juga berkata, untuk menjadi pengusaha harus selalu menunaikan apa yang dituntun agama. Oleh karena itu, ia selalu menjalin relasi dengan banyak orang, sebagai manifestasi silaturahim yang dijanjikan akan menambah rejeki dan memanjangkan usia.
Karena saya tahu Darno bergerak di bidang usaha yang sama dengan Kasemiro, maka saya tanyai apakah ia mengenalnya. Darno mengaku tidak mengenal namanya dan bertanya apa nama usaha Kasemiro. Setelah saya sebut nama usaha Kasemiro, ia manggut-manggut saja. Di saat itulah, makbedunduk Kasemiro muncul di belakang saya. Lalu saya bilang, “Lha ini Kasemiro, Mas!
Setelah menyalami saya, Kasemiro mendekati Darno untuk berbincang berdua saja. Karena saya merasa mereka terlibat pembicaraan penting yang tidak ingin saya dengar, saya pun menjauh.
***
Saya menyimpan keinginan suatu saat bisa memulai usaha sendiri. Tetapi sampai sekarang belum tentukan sektor usaha apa yang akan saya pilih. Saya masih berpikir dan menimbang-nimbang segala risikonya.
Sementara, dari sekian banyak pengusaha yang saya temui, selalu saja usaha mereka awali dari bergerak dan tidak banyak berpikir. Yang saya simpulkan, mereka langsung saja memulai usaha sambil terus lakukan proses perbaikan. Bukan menunggu apa-apa telah baik baru memulai.
Pengusaha sukses selalu mengawali usahanya dengan satu usaha kecil. Dari satu usaha itu, lambat laun akan terbaca peluang untuk dimasuki. Lalu dari sanalah usahanya menggurita menyentuh beragam sektor, yang bahkan sebelumnya terpikir saja tidak.
***
Usai berbincang cukup lama dengan Darno, Kasemiro mendekati saya.
Saya tanya, “Sudah selesai bicara sama Darno?”
Kasemiro bingung, “Darno siapa?
Saya tak kalah bingung, “Lho, itu sing mbok ajak ngobrol tadi ‘kan Darno to?”
Kasemiro menjelaskan, “Bukan Darno, tapi Waldi!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar