Sabtu, 21 April 2018

Membaca Peluang Mahfud MD sebagai Cawapres Unggulan

(sumber gambar: triptrus)

Tahun 2018 sudah diberi judul sebagai tahun politik. Tahun ini, sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 27 Juni. Di tahun ini pula, persiapan pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2019 telah dimulai.
Di dunia nyata dan maya, kita mulai disuguhi beraneka sajian beraroma politik. Di jalan protokol, baliho besar tampilkan tokoh nasional yang tersenyum manis menawarkan pesonanya. Di portal berita on-line, kasak-kusuk pemberitaan tak jauh dari anjangsana antar tokoh, penyebutan nama-nama yang akan bertarung, dan analisis-analisis pengamat dengan opini versi masing-masing.
Pileg tentu menarik. Pilkada lebih menarik. Tetapi, pilpres adalah satu hal. Pilpres memiliki nilai jual paling tinggi dan semua orang tertarik membahasnya. Saat membahas pilpres, hal yang menarik untuk dibahas ialah siapa lawan Jokowi dan siapa calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi.
Untuk calon lawan Jokowi, sejauh ini, nama yang disebut tak jauh dari Prabowo lagi. Sedangkan, cawapres yang akan mendampingi Jokowi dan Prabowo sampai sekarang belum mengerucut pada satu nama. Masih banyak tokoh yang disebut-sebut. Mulai Jenderal Gatot, AHY, Mahfud M.D., Sri Mulyani, Anies Baswedan sampai dengan Bos Go-Jek, Nadiem Makarim. Namun, satu nama yang mencuri perhatian adalah Prof. Mahfud --yang pada pilpres 2014 disebut akan mendampingi Jokowi namun tak jadi, dan di tikungan terakhir memutuskan untuk menjadi ketua tim sukses Prabowo – Hatta.
***
Mahfud MD bukan nama asing di kancah perpolitikan nasional. Ia tokoh kawakan yang mempunyai beragam pengalaman di berbagai organisasi. Ia pernah dan masih memiliki posisi penting di organisasi kemahasiswaan, perguruan tinggi, partai politik sampai lembaga negara.
Beberapa waktu belakangan, nama Mahfud disebut akan mendampingi Jokowi pada 2019. Saat diklarifikasi, Mahfud memilih menjawab diplomatis. Ia tidak akan secara aktif mencalonkan diri dan membiarkan semua mengalir. Tidak ngotot, tapi juga tak menolak jika rakyat menginginkan.
Sebelum jauh, saya ingin menyatakan, tulisan ini tidak dalam rangka apapun kecuali membagikan perspektif dan analisis elek-elekan perihal pilpres 2019. Tidak ada maksud dukung-mendukung atau niat politis lainnya, Secara pribadi, saya tidak masuk dan tersangkut pada anasir politik manapun.
Kembali ke Mahfud MD, andai saja benar Jokowi menunjuk Mahfud sebagai cawapresnya, maka akan menjadi perpaduan yang oke.  Pasangan Jokowi – Mahfud dapat mengambil positioning sebagai perpaduan tokoh nasionalis dan religius. Selain itu, apabila Madura dilihat sebagai pulau terpisah dari Jawa, dengan sedikit maksa dapat pula disebut pasangan yang mewakili Jawa dan Luar Jawa. Pada lingkup lainnya, Jokowi – Mahfud adalah pasangan businessman dan teknokrat, yang dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing akan dapat saling mengisi.
Sedangkan, apabila Mahfud memilih untuk mendampingi Prabowo, mereka bakal menjadi pasangan yang tak kalah keren. Pasangan Prabowo – Mahfud akan jadi perwakilan militer dan sipil. Sebuah perjodohan yang konon jadi idaman rakyat.
Dari padu padan di atas, Mahfud tampak cocok disandingkan dengan siapa pun. Ini bukan tanpa alasan. Mahfud adalah sosok yang lengkap dan tak berlebihan bila dikatakan sulit dicari padanannya di Indonesia. Koreksi jika saya salah, ia adalah satu-satunya tokoh nasional yang pernah memiliki posisi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mahfud pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman di masa Gus Dur. Ia pernah menjadi anggota DPR-RI. Terakhir, menjadi pucuk pimpinan di Mahkamah Konstitusi.
Deretan kelengkapan Mahfud yang disebutkan di atas belumlah usai. Mahfud berangkat dari dunia akademisi dan ia bukanlah seorang akademisi semenjana. Mahfud adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia pernah duduk di kursi rektor Universitas Islam Kadiri, sekaligus seorang penulis banyak buku dan publikasi ilmiah. Posisi-posisi tersebut telah berbicara jelas tentang sosok Mahfud MD sebagai akademisi.
Di samping jabatan “duniawi”, Mahfud juga memiliki background keagamaan yang tak bisa diragukan. Tilik saja asal-usulnya yang berasal dari Madura, sebuah pulau yang lekat dengan nuansa keislaman yang kental. Awal pendidikan Mahfud berangkat dari Madrasah Ibtidaiyah di sebuah pondok pesantren di Pamekasan. Saat usia remaja, ia memilih pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Agama. Ia juga lulusan Sastra Arab UGM, dimana pembaca pasti paham untuk apa jurusan itu diambil.
Mahfud seorang organisator yang telah teruji. Jejak organisasinya tercium mulai dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sampai sekarang, Mahfud masih diamanahi sebagai Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia. Selain itu, ia duduk sebagai Dewan Pengasuh Forum Keluarga Madura Yogyakarta. Di politik praktis, Mahfud pernah berposisi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa.
***
Dalam ilmu tata negara, Mahfud pakarnya. Secara pengalaman berpartai, pernah duduk sebagai pimpinan. Secara kultur keagamaan, ia nahdliyin tulen. Dalam dunia birokrasi, mendapatkan banyak jabatan penting.
Satu lagi variabel penting, pria yang tinggal di Sleman itu tak pernah sekalipun tersangkut dalam kasus hukum. Secara moral, ia telah teruji. Dilihat dari jalan yang dipilih, ia sangat lurus.
Dengan rentetan pengalaman Mahfud yang demikian panjang, pantas bila ia disebut sebagai cawapres unggulan yang akan bertarung di 2019. Secara kalkulasi politik, nama Mahfud MD sangat pantas diperhitungkan.
***
Bicara politik sebenarnya membahas sesuatu yang sangat cair. Sulit ditakar kesejatiannya, sukar diukur kepastiannya. Mahfud MD mungkin sosok yang pepak lagi jangkep, tetapi kaca mata politik tidak sesederhana itu.
Pilpres tidak hanya berbicara tentang baik atau tidaknya dan hebat atau tidak seorang tokoh. Pilpres merupakan event multidimensi. Di dalamnya terdapat silang sengkarut kepentingan yang banyaknya ndak karu-karuan. Skenario yang diwarnai intrik pastilah tidak terhindar. Keputusan politis yang telah sampai tahap ketok palu pastilah keputusan yang telah melalui adu argumen, pertarungan intelektualitas, sampai tawar menawar harga pas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar