Rabu, 11 April 2018

Rocky Gerung: “Kitab Suci itu Fiksi”, Bagaimana Seharusnya Sikap Kita?


(sumber gambar: litro.co.uk)

Pernyataan Rocky Gerung (RG), dosen Filsafat UI, yang menyatakan kitab suci sebagai fiksi membuat gaduh. Silang pendapat berlalu lalang di linimasa social media. Mulai dari yang tidak peduli, menyebut RG ngawur, sampai dengan marah-marah karena dianggap menistakan agama.
Dalam pernyataan lanjutannya, RG menjelaskan bahwa apa yang dimaksud fiksi dan fiktif itu berbeda. Menurutnya, fiksi ialah suatu energi yang dapat mengaktifkan imajinasi, dan itu baik. Sedangkan, fiktif ia sebut sebagai hal buruk karena sebuah kebohongan.
Terlepas benar atau tidaknya tafsir RG tentang perbedaan makna fiksi dan fiktif, bola liar terlanjur jauh menggelinding. Publik kadung tersentak. Muruah sebagai umat beragama tiba-tiba diusik. Keadaan yang sedang menghangat oleh berita-berita di tahun politik, bertambah suhunya karena pernyataan RG.
***
Sebagai umat Islam, pertama mendengar pernyataan RG, saya langsung teringat puisi Sukmawati Sukarnoputri. Karena perasaan yang diproduksi keduanya persis sama. Perasaan saya cenderung memakluminya.
Saya yakin, RG seorang yang mumpuni di bidang filsafat. Namun, dalam keilmuan agama, saya belum pernah mendapat informasi bahwa RG memiliki wewenang ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah, saya memberikan pemakluman. 
Sederhananya, ungkapan yang dia lontarkan semata karena ketidaktahuan, atau minimal karena belum mendapatkan akses untuk memahami bagaimana teknis turunnya ayat kitab suci sebagai firman Tuhan. Atau, bisa saja ia telah khatam perihal kitab suci, namun memilih untuk tidak meyakini. Sah-sah saja dan itu hak pribadi.
Agama sebagai institusi yang mengakomodasi hal materiil dan imateriil telah menawarkan perangkat untuk memahami keduanya. Indera dan logika telah dibekalkan untuk mengukur hal materiil. Sedangkan, persoalan imateriil dapat dijangkau melalui iman.
Pernyataan RG jelas sekali dilatarbelakangi oleh indera-logika manusia biasa yang tak pernah terlepas dari keterbatasan. Sedangkan untuk menangkap bagaimana kitab suci turun, Isra’ Mi’raj berlangsung, dan teknis Nabi Musa membelah lautan, diperlukan alat yang dinamakan iman. Kita hanya mampu mempercayai dan itu termasuk dalam lingkup aqidah yang tak bisa ditawar-tawar.
***
Karena berangkat dari ketidaktahuan atau justru ketidakyakinan, maka anggap saja RG sedang menawarkan perspektif sebagai seorang individu yang berprofesi sebagai akademisi. Tentang apakah itu salah dan belakangan melahirkan polemik, itu soal lain.
Hanya, saya tetap memiliki kritik untuk RG. Di tengah khalayak yang belum teduh betul usai hadapi beragam masalah sensitif keagamaan, sebaiknya RG lebih panjang dalam berkalkulasi sebelum mengeluarkan statement, apalagi di acara live televisi nasional setenar ILC. Pernyataan kitab suci fiksi akan berbeda perkara bila dibawakan di ruang kelas mata kuliah filsafat. Kesalahan RG, ia berbicara tidak empan papan. Di masa yang akan datang, ia harus lebih berhati-hati.
Sebagai pribadi, tentu saya tidak setuju kitab suci dinyatakan sebagai fiksi. Fiksi adalah khayalan, sedangkan kitab suci adalah kalamullah, firman Allah. Kitab suci adalah pedoman hidup yang tiada bandingannya. Ia nyata, sempurna, dan aplikatif. Jauh dari kesan fiksi yang ngawang-awang dan utopis.

2 komentar:

  1. Ngakak baca komen di atas...
    Beberapa orang bisa menjadi sangat mengganggu. Post ini tentang apa... eh, komennya apa.
    So, anyway tentang RG... ada kalanya beberapa orang memang gak paham dengan apa yang mereka ucap. Honestly, penyebutan fiksi terhadap kitab suci benar2 membuatku menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa tapi aku tidak ingin menghakiminya. Siapalah aku? Aku tidak punya hak untuk menghujat atau menghakimi siapapun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iklannya itu lho..

      Menghujat jangan, menghakimi pun. Tapi kritik dan saran harus terus diberikan sebagai implementasi kasih sayang dan niat membangun.

      Hapus