Pernyataan Rocky Gerung (RG),
dosen Filsafat UI, yang menyatakan kitab suci sebagai fiksi membuat gaduh.
Silang pendapat berlalu lalang di linimasa social media.
Mulai dari yang tidak peduli, menyebut RG ngawur, sampai
dengan marah-marah karena dianggap menistakan agama.
Dalam pernyataan lanjutannya, RG
menjelaskan bahwa apa yang dimaksud fiksi dan fiktif itu berbeda. Menurutnya,
fiksi ialah suatu energi yang dapat mengaktifkan imajinasi, dan itu baik.
Sedangkan, fiktif ia sebut sebagai hal buruk karena sebuah kebohongan.
Terlepas benar atau tidaknya
tafsir RG tentang perbedaan makna fiksi dan fiktif, bola liar terlanjur jauh
menggelinding. Publik kadung tersentak. Muruah sebagai umat beragama tiba-tiba
diusik. Keadaan yang sedang menghangat oleh berita-berita di tahun politik,
bertambah suhunya karena pernyataan RG.
***
Sebagai umat Islam, pertama
mendengar pernyataan RG, saya langsung teringat puisi Sukmawati Sukarnoputri.
Karena perasaan yang diproduksi keduanya persis sama. Perasaan saya cenderung
memakluminya.
Saya yakin, RG seorang yang
mumpuni di bidang filsafat. Namun, dalam keilmuan agama, saya belum pernah
mendapat informasi bahwa RG memiliki wewenang ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itulah, saya memberikan pemakluman.
Sederhananya, ungkapan yang dia
lontarkan semata karena ketidaktahuan, atau minimal karena belum mendapatkan
akses untuk memahami bagaimana teknis turunnya ayat kitab suci sebagai firman
Tuhan. Atau, bisa saja ia telah khatam perihal kitab suci,
namun memilih untuk tidak meyakini. Sah-sah saja dan itu hak pribadi.
Agama sebagai institusi yang
mengakomodasi hal materiil dan imateriil telah menawarkan perangkat untuk
memahami keduanya. Indera dan logika telah dibekalkan untuk mengukur hal
materiil. Sedangkan, persoalan imateriil dapat dijangkau melalui iman.
Pernyataan RG jelas sekali
dilatarbelakangi oleh indera-logika manusia biasa yang tak pernah terlepas dari
keterbatasan. Sedangkan untuk menangkap bagaimana kitab suci turun, Isra’
Mi’raj berlangsung, dan teknis Nabi Musa membelah lautan, diperlukan alat yang
dinamakan iman. Kita hanya mampu mempercayai dan itu termasuk dalam lingkup
aqidah yang tak bisa ditawar-tawar.
***
Karena berangkat dari
ketidaktahuan atau justru ketidakyakinan, maka anggap saja RG sedang menawarkan
perspektif sebagai seorang individu yang berprofesi sebagai akademisi. Tentang
apakah itu salah dan belakangan melahirkan polemik, itu soal lain.
Hanya, saya tetap memiliki kritik
untuk RG. Di tengah khalayak yang belum teduh betul usai hadapi beragam
masalah sensitif keagamaan, sebaiknya RG lebih panjang dalam berkalkulasi
sebelum mengeluarkan statement, apalagi di acara live televisi
nasional setenar ILC. Pernyataan kitab suci fiksi akan berbeda perkara
bila dibawakan di ruang kelas mata kuliah filsafat. Kesalahan RG, ia
berbicara tidak empan
papan. Di masa yang akan datang, ia harus lebih berhati-hati.
Sebagai pribadi, tentu saya tidak
setuju kitab suci dinyatakan sebagai fiksi. Fiksi adalah khayalan, sedangkan
kitab suci adalah kalamullah,
firman Allah. Kitab suci adalah pedoman hidup yang tiada bandingannya. Ia
nyata, sempurna, dan aplikatif. Jauh dari kesan fiksi yang ngawang-awang dan
utopis.
Ngakak baca komen di atas...
BalasHapusBeberapa orang bisa menjadi sangat mengganggu. Post ini tentang apa... eh, komennya apa.
So, anyway tentang RG... ada kalanya beberapa orang memang gak paham dengan apa yang mereka ucap. Honestly, penyebutan fiksi terhadap kitab suci benar2 membuatku menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa tapi aku tidak ingin menghakiminya. Siapalah aku? Aku tidak punya hak untuk menghujat atau menghakimi siapapun.
Hahaha iklannya itu lho..
HapusMenghujat jangan, menghakimi pun. Tapi kritik dan saran harus terus diberikan sebagai implementasi kasih sayang dan niat membangun.