Senin, 25 Juni 2018

Mengenang Kisahku Naik Kapal, Merenungi Karamnya KM Sinar Bangun

(sumber gambar: childrencafe.com)

Mendengar kabar tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba yang diduga karena kelebihan muatan, seketika saya terkenang situasi saat menaiki sebuah kapal kecil. Peristiwa tersebut terjadi saat saya berkunjung ke sebuah pulau di lepas pantai Sulawesi.
Saya gembira menyambut perjalanan ke Sulawesi, karena itulah kali pertama saya ke pulau yang berbentuk mirip huruf K itu. Saya beberapa hari di sana untuk berkunjung ke sekian titik lokasi. Hingga di satu hari menjelang pulang, saya dan rekan-rekan harus menyeberang lautan yang gelombangnya menggoyahkan keberanian.
***
KM Sinar Bangun, sampai tulisan ini dibuat, masih dalam pencarian. Kemarin malam (25/6), Kepala Basarnas M. Syaugi memberikan keterangan sudah terdapat benda yang dicurigai sebagai KM Sinar Bangun di kedalaman sekitar 450 meter.  Untuk memastikannya, hari ini pencarian dilanjutkan kembali.
Ratusan jenazah penumpang belum pula ditemukan rimbanya. Tim pencari sudah mencari dengan beragam cara. Mulai mengerahkan helikopter, mengelilingi dan menyelami danau, menelusuri tepiannya, sampai bertanya ke penduduk setempat.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun membuat masyarakat terhenyak. Dalam pemberitaan dinyatakan, kapal tidak disertai pelampung yang sesuai dengan jumlah penumpang. Sementara, jumlah penumpang sesungguhnya masih dicari dengan mencocokkan data laporan masyarakat yang kehilangan anggota keluarga.
Manifes tidak ada, pun dengan surat ijin berlayar. Penumpang tidak membeli karcis, karena membayar saat berada di atas kapal. Konon, menurut penuturan beberapa orang yang paham tentang situasi di tempat, seperti itulah lazimnya yang terjadi sehari-hari.
Perdebatan tentang kapasitas total kapal masih terjadi. Dikabarkan, kapal hanya ideal untuk menampung 40-an penumpang. Sedangkan, diduga, kapal berlayar memuat sekitar 200-an penumpang. Masih pula ditambah puluhan sepeda motor. Sungguh mencengangkan.
***
Beberapa saat jelang menyeberang, saya masih tenang-tenang saja. Dalam bayangan, kapal yang akan kami naiki sekelas kapal feri yang pernah membawa saya menyeberang ke Bali. “Ah tak masalah!” begitu batin saya. Karena berdasar pengalaman, kapal feri di Ketapang – Gilimanuk berlayar dengan tenang dan berwibawa. Bahkan, saya tak merasa kapal sudah jauh meninggalkan dermaga.
Sampai kemudian, saya turun dari mobil dan berjalan menuju tempat dimana kapal ditambatkan. Saat itulah, nyali saya drastis menciut sampai ke ukuran mikron. Yang tampak di depan mata adalah kapal kayu yang tak seberapa besar. Mesin penggeraknya pun diesel yang berisiknya melebihi rasan-rasan tetangga. Suaranya lebih dekat ke suara pesawat Hercules daripada suara mesin kapal kecil.
Selain kecil dan berisik, kapal secara kasat mata berfisik tidak layak. Kusam dan menyedihkan. Jangankan dicat ulang, terciprat air tawar saja nampaknya belum. Apa? Manifes? Tiket? Jangan terlalu muluk-muluk. Karena kami bayar ongkos seperti bayar seusai naik becak.
Saya tak menduga nasib akan membawa saya ke penyeberangan itu. Lha wong saya ini muter-muter naik kapal wisata Kedung Ombo saja memilih no way, kok ini tiba-tiba dihadapkan pada realita harus berlayar di laut yang sebenar-benarnya. Ingat ya, laut, bukan waduk.
Karena transportasi yang dapat membawa ke tujuan hanyalah itu, maka apa boleh buat. Tak berapa lama, saya telah duduk manis di atasnya. Semoga tidak ada yang mengambil foto saya secara diam-diam. Karena, yang akan tertampil hanyalah wajah yang tidak terlalu tampan ini memucat. Tidak tampan, pucat pula. Yaa Rabb..
Kapal perlahan menjauhi daratan. Suara bising kapal membuat kami harus berteriak sekuatnya untuk menyambung silaturahmi. Kami sebagai manusia bukan menjadi satu-satunya jenis penumpang. Kami ditemani sepeda motor, berkarung-karung kelapa, beras, dan berjenis-jenis muatan yang sama sekali tak pernah masuk dalam dugaan.
Saya ndremimil berdoa sepanjang perjalanan. Walau sudah lama mengarungi biduk rumah tangga, itulah biduk yang sesungguh-sungguhnya. Risiko terpahit menari-nari di depan mata.
Pikiran yang tidak-tidak melintas-lintas di kepala. Saya ngeri sekaligus terngiang perkataan teman-teman yang berbunyi: “Matine wong numpak kapal ki rekasa, nganggo nglangi klagepan. Mending matine wong numpak montor mabur, langsung thek sek mati.” (Meninggalnya penumpang kapal itu kesusahan, pakai berenang gelagapan. Lebih enak meninggalnya penumpang pesawat, jatuh langsung mati).
Saat itu, tiba-tiba gerimis turun. Semakin ke tengah laut, bukan reda justru semakin deras. Saya semakin sulit berpikiran positif. Semua perkataan motivator lenyap tak ada gunanya. Pikiran dan raut muka bertambah buram, saat tersadar di atas kami tidak ada tergantung sebutir pun pelampung.
***
Singkat kata, kami selamat sampai seberang, meski dengan kapal yang berderit-derit menahan berlebih beban. Karena tidak ada kapal yang sama untuk kembali, akhirnya kami mencarter sebuah kapal yang lebih besar, lebih bagus, dan menenteramkan. Ya walaupun kami kehilangan nyali, setidaknya kami masih punya uang.
Itu kisah empat tahun lalu, saat bulan puasa, Juli 2014. Semoga sarana transportasi di seluruh Indonesia terus membaik, sistem makin tertata, dan SDM yang mengelola memiliki kompetensi yang mumpuni.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun semoga menjadi yang terakhir. Semoga menjadi momentum perbaikan seluruh sistem transportasi, baik darat, laut, dan udara.
***
September 2014, saya berkunjung ke Bandung. Di sebuah hotel, saya bertemu seorang teman yang berasal dari Sulawesi, dan saya bercerita kisah penyeberangan saya. Ia dengan kalem menanggapi: “Oh iya, itu sebulan sebelum kamu ke situ, ada pejabat tenggelam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar