Rabu, 06 Juni 2018

Menilik Kembali Makna Fastabiqul Khairat

(sumber: newmansociety.org)

Jika tidak ingat harus selalu memperbarui informasi dan tuntutan kebutuhan pergaulan, sebenarnya sudah cukup melelahkan terjun ke gelanggang media sosial. Walau sekadar dunia virtual, permusuhan dan kebencian terasa riil di sana.
Ditambah, panasnya dunia politik yang sebentar lagi akan mencapai titik didih tertingginya. Gaung keriuhanya sudah terdengar mulai sekarang, dan akan semakin bising dari hari ke hari. Perdebatan dan saling caci antar basis massa pendukung kubu satu dengan lain terpampang tanpa tedheng aling-aling.
Sampai saya bingung, apa sebenarnya yang melatarbelakangi semua ini. Apa-apa bertengkar. Sedikit-sedikit marah. Semua jadi mudah tersinggung. Perasaan dulu kita tidak begitu.
***
Dalam beberapa kesempatan, baik yang saya hadiri secara langsung, melalui tulisan, atau rekaman, Cak Nun akhir-akhir ini sering sekali menyampaikan filosofi benar, baik, dan indah. Sebagai sosok yang dikenal kerap mendekonstruksi konsep yang telah dianggap mapan, bangunan sekuat konsep benar, baik, dan indah yang telah melembaga sekian lama, Cak Nun pugar menjadi puing-puing narasi yang mencerahkan.
Sejatinya, masyarakat era sekarang ini, belum khatam mendalami konsep benar, baik, dan indah. Padahal, kurangnya pemahaman terhadap ketiganya berpotensi menyebabkan hal-hal yang belakangan ini marak, yakni perdebatan, kebencian, permusuhan, pertengkaran, dan istilah lain sejenisnya.
Menurut Cak Nun, kebenaran adalah input, kebaikan berposisi output, dan keindahan menjadi outcome-nya. Rumusnya sangat sederhana. Kebenaran diolah menjadi kebaikan, yang pada gilirannya akan mendapatkan hasil turunan paling puncak berupa keindahan.
Perdebatan di media sosial, Cak Nun menyebutkan, semuanya tentang kebenaran. Bukan kebaikan, apalagi keindahan. Di jaman ini, orang-orang merasa paling benar dan itu langsung menjadi ekspresi dirinya, tanpa tahu bahwa sebenarnya kebenaran hanyalah bekal. Dan seharusnya, kebaikanlah yang menjadi ekspresi dalam komunikasi sosial.
Cak Nun meneruskan, mempertengkarkan kebenaran sama artinya dengan mempertengkarkan dapur. Sementara, sebagaimana maqom-nya, dapur terletak di belakang dan tidak untuk dipertunjukkan. Yang harus disajikan adalah masakan, biarlah dapur tetap tersembunyi di ruang tersendiri. Cak Nun memungkasi, Allah berfirman di Al Baqarah 148, bahwa yang diperlombakan ialah kebaikan (fastabiqul khairat), bukan kebenaran.
***
Jika yang ditampilkan kebenaran, maka yang muncul menyusul adalah pertikaian. Karena, sampai kapan pun, kebenaran yang kita miliki merupakan sesuatu yang sifatnya relatif, dan kebenaran hakiki hanyalah milikNya. Imam Syafi’i bertutur: “kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain, dan kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung satu kesalahan dalam pandanganku.”
Jelas sudah, kebenaran versi si A akan berbeda dengan si B. Sedangkan kita di dunia tidak cukup disimbolkan dengan seluruh huruf alfabet. Tinggal dibayangkan saja, berapa versi kebenaran yang ada dan bagaimana jika saja itu semua dipertentangkan. Remuk.
Bila direnungkan, rasanya memang betul, bahwa semua pertikaian yang ada tak pernah lepas dari pemaksaan kehendak atas kebenaran kepada pihak lain. Taruh saja, perdebatan antar ormas agama, permusuhan antar parpol, sampai yang paling aktual, terorisme.
Teroris yang meledakkan gereja di Surabaya bertindak dengan dasar dirinya yang paling benar, dan orang lain salah. Sampai mereka yang salah halal darahnya, jadi mari dibunuh saja. Bayangkan, tafsir yang salah atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan sampai memproduksi hal semengerikan itu.
Allah dalam An Nahl 125 berfirman ud'u ila sabili robbika bil hikmah wal mau'idhotil hasanah, serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik. Sekali lagi, yang didahulukan adalah “yang baik.”
Jangan lupa pula, agama berintisari pada ajaran tentang akhlaq. Dan, akhlaq selalu tentang baik dan buruk, bukan benar dan salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar